KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

BUKU HARIAN

BUKU HARIAN

Minggu, 14 Maret 2010
Aku masih belum tidur, merenungkan peristiwa tadi siang. Istriku sudah pulas duluan. Sebenarnya dia pasti akan selalu memaksaku untuk menemaninya tidur supaya aku tidak tidur terlalu larut. Namun, malam ini aku memohon kepadanya supaya tidur lebih dulu. Dia tahu, kalau aku sudah memohon seperti itu, aku akan melakukan kebiasaan lamaku dulu, menulis refleksi di buku harian. Karena hari-hari ini adalah masa pantang dan puasa, tiada sebatang rokok dan secangkir kopi pun menemani. Biarlah, walau nikmat, toh itu kebiasaan buruk. Jika aku mencintai istriku, aku harus mencintai diriku sendiri dengan berhenti mengonsumsi kedua barang nikmat itu. Ya, biar bisa hidup sedikit lebih lama untuk tetap memberi senyum dan sapaan “kumencintaimu” setiap pagi padanya.

Hari ini adalah hari Minggu. Sebuah pagi yang indah, hari baru yang cerah. Istriku membangunkanku dengan sebuah kecup hangat pada kening.
“Met pagi, Pah. Ayo bangun. Ke gereja, ndak?”
“Iya, Mah. Password-nya dulu donk,” jawabku masih mengantuk.
“Ih genit ah... .”
“Ya udah, Papah bobok lagi.”
“Malu ah, sama Damar. Masak kalah sama anakmu sendiri yang baru 4 tahun?”
“Udah bangun dia?”
“Udah mandi malah.”
“Mamah dulu deh yang mandi... .”
“Lo, Mamah masih harus menyelesaikan cuci dan jemur baju. Ya udah... manja ah... . Sini, I love you... .”
“Papah juga love Mamah.”
Segera aku bangun. Istriku segera ke belakang, menyelesaikan pekerjaannya. Kuintip kamar Jagoan Kecilku. Sudah bisa pakai baju sendiri dia, tapi belum bisa mengikat tali sepatunya. “Papah, cepatu... ,” pinta Jagoan Kecilku yang masih cedal itu sambil menunjuk tali sepatunya. Aku masuk. Kuikatkan talinya. Kami tos. Kuberantakkan rambutnya yang memang belum disisir. Lalu, aku pergi mandi.

Pernah pada suatu masa dalam hidupku setiap hari aku merayakan ekaristi. Kadang-kadang tak sempat mandi karena bangun kesiangan. Bangun, kaget melihat jarum jam, lari ke wastafel untuk cuci muka dan berkumur, memakai pakaian putih itu, lalu pergi ke kapel untuk pindah tidur. Pindah tidur? Hehehehe... ya. Sejak tanda salib pembuka hingga berkat penutup, apa lagi saat homili dan Doa Syukur Agung, aku (mungkin juga kami) tidur. Waktu berdiri, ya berdiri, tentu dengan mata masih terpejam. Waktu duduk, ambil posisi yang kira-kira adalah posisi berdoa, sehingga orang takkan menyangka aku (boleh juga dibaca ‘kami’) tengah tidur. Bagi mereka yang jeli dan biasa, tetap bisa melihat perbedaannya, antara doa benar-benar atau tidur. Setelah misa, biasanya kami ibadat pagi, lalu meditasi. Yahaha... meditasi... kesempatan emas untuk tidur lagi. Pernah ada temanku yang tidur sebegitu pulasnya waktu meditasi sehingga dia duduk dengan sebegitu membungkuknya, bahkan ketika jam sarapan tiba, dia masih tidur di kapel dengan pakaian putih itu. Untung Magister kami sedang pergi keluar kota sehingga waktu terbangun dan masuk di refter, temanku itu hanya malu pada teman-teman lain yang tengah asyik menyantap makan pagi.

Pukul 6.40 Inova kustarter dan kubawa ke depan. Jagoan Kecilku masuk. Dia selalu minta duduk di tengah. Istriku masuk ke mobil setelah mengunci semua pintu dan gerbang. Kami meluncur ke Gereja Paroki St. Antonius. Misa dipimpin oleh seorang Pastor Jesuit. Entah benar, entah salah, misa-misa yang dipimpin oleh Pastor-pastor Jesuit selalu ringkas, padat, cepat, tetapi tetap mengena di hati, dan mencerahkan budi, menggerakkan jiwa dan raga untuk melakukan praxis iman. Atau, jangan-jangan mungkin ini hanyalah kesan karena aku tak pernah misa di Gereja Paroki yang lain. Paroki tempat asalku dilayani Pastor-pastor Jesuit. Sekolahku dari SD sampai Universitas dikelolah oleh Pastor-pastor Jesuit. Tempat kerjaku sekarang bosnya seorang Jesuit. Parokiku sekarang juga Jesuit. Jiah... benar-benar ga ada warna lain!

Pastor Jesuit yang mirip biksu itu –karena botak– memberkati kami dengan mendoakan Mazmur Bahasa Ibrani sebelum akhirnya membuat tanda salib besar,”Semoga Allah yang mahakuasa memberkati Saudara sekalian, Bapa, Putra, dan Roh Kudus... .” Kami sekeluarga tidak segera pulang. Sekali-sekali makan di luar.
“Cari Bubur Ayam yuk, Mah.”
“Damar mau Bubur Ayam?”
“ Bubul Ayam jago Damal mau... .”
Kami berdua tertawa.
“Lho, tok teltawa to? Mama cama Papa ni lo... .”
“Mana ada Bubur Ayam jago, Cayangku?” tanya Mamahnya.
“Lha talo ayam yang dicembelih ayam jago, tan blati Bubul Ayam jago?”
Wah, sudah mulai rumit cara berpikir Jagoan Kecilku ini. Jangan-jangan calon filsuf dia.
“Damar, kalau dah jadi Bubur Ayam, kita, ‘kan, ndak tahu itu dulunya ayam jago atau babon. Kita tahunya Bubur Ayam itu enak. Enyak... enyak... enyak... .” kataku.
“Ya ental kalo habis maem tu Damal kukuluyuk, blati yang Damal maem Bubul Ayam jago no.”
“Berarti kalau petok-petok, yang kamu makan Bubur Ayam babon, Cayang?” Mamahnya menggoda.
“Bubul Ayam babon-nya buat Mamah aja bial ngendhog tlus Damal jadi punya adik.”
“Apa hubungannya ngendhog sama punya adik,” aku shock lalu memandang mata istriku. Anak sekecil ini... . Duh, Jagoan Kecilku, belajar apa dia di TK Indonesia Maju itu?
“Ah, Papah gimana sih? Babon-nya Lik Eko abis ngendhog, telulnya pecah, tlus jadi anak-anak ayam. Na, kalo Mamah ngendhog, Damal kan bisa punya adik, weee... .”
Aku dan istriku tertawa.
“Damar mau adik?” tanya Mamahnya.
“He’eh.”
“Sabar ya. Habis kamu nol besar atau sekolah di SD. Biar kamu cukup besar untuk momong adik. Ya?”
“Ciap!!!”
Inova kami telah sampai di kompleks ruko. Hari Minggu seperti ini ruko yang buka tidak sebanyak hari biasa. Warung Bubur Ayam langganan kami cukup laris karena memang terkenal lezat. Namun, sayang, Warung Bubur Ayam itu tidak memiliki tempat parkir yang cukup luas. Pagi ini tempat parkir warung telah penuh. Terpaksa aku memarkir Inova di depan ruko lain yang tutup. Tidak buka, pikirku, maka tiada salahnya numpang parkir di depan ruko itu. Di samping kanan ruko itu kulihat sekilas ada toko bunga. Wah, sehabis makan, bisa membeli sekuntum mawar indah untuk istriku yang cantik, pikirku.

Pada saat menulis buku harian ini, Albert, teman seperjuangan sekaligus teman nakal dulu di Girisonta, sms.
“Hidup X-Men! Aris, met mlm, Bro. Lg ap ni? Reuni yuk. Speak2 lah ky dulu. Long time no see, plus 234 dan kopi htm. Ya cm gt2 i2 ta rekoleksi qt, X-Men, sharing2.”
“Blh2. Lbr Paska? Di mn? Bukit Bintang Jgj ky bbrp wkt lalu? Sl3? Atw... ? Kbri X-Men yg lain, Bro. Cari kpn sm2 free. Aturan ttp b’laku lo, anak-istri tinggal di rmh! Eh, bgm kbr Nana, istrimu?”
“Sdh bln yg ke6 ni. Doain aja, Bro. Untung sermh sm mertua, jd aga tenang.”
“Bert, mo crt ni. Td ad yg tanya, Mas mantan seminaris y? Ya qjwb, ga kok, Pak. Sy bkn mantan seminaris. Cm mantan frater. Wakakakakakakaka XD”
“Wakakakakakakakaka :P Msh gokill jg km. Oklah. CU, Bro.”
“CU soon. Hidup X-Men! eXtra seMENariam ergo sum!!!”

Setelah selesai menyantap Bubur Ayam, kami bertiga beranjak pergi. Kami agak terkejut, Inova kami dihalangi ¬pick-up berisi penuh bunga. Mungkin itu pick-up toko bunga yang letaknya persis di samping kanan ruko yang tutup tadi.
“Permisi, Mas,” sapaku ramah pada pemilik toko.
“Mas yang punya mobil ini ya? Lain kali kalau makan di sana ya parkir di sana donk. Kontraknya lain juga. Sini ni dah punya kontrakan sendiri. Masa makan di sana parkir di sini?” ucap sang pemilik toko ketus dan tak memanusiakan, wajahnya asam tak sedap dipandang.
“Oh... maaf. Ni tadi saya numpang parkir karena di sana penuh.”
“Lha ya nggak. Wong kontraknya dah lain kok.”
Ingin aku meminta maaf sekali lagi, tapi kulihat kayu salib ber-corpus dan patung Bunda Maria di toko bunga itu. Aku marah. Bagaimana mungkin seorang Katolik, pada Hari Minggu –kuasumsikan dia sudah pergi misa di Gereja–, memajang salib ber-corpus dan patung Bunda Maria di tokonya, berwajah asam, marah-marah tanpa alasan mendasar, dan tidak memanusiakan manusia seperti itu? Apakah pantas dia disebut Katolik yang mengajarkan Cinta-Kasih; kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri?

Aku menghembuskan nafas panjang untuk menetralisasi amarahku. Segera aku meminta maaf sekali lagi, tapi kali ini dengan ketus. Setelah keluargaku masuk mobil, kustarter dan kugas agak kencang. Agak susah mobil kami keluar dari hadangan pick-up itu. Setelah berhasil lolos, kubuka kaca jendela. Aku tersenyum padanya dan pamit, walau masih panas hati ini. Dia sama sekali tidak memalingkan wajahnya padaku. Semakin panas hati ini. “Mesem sik, Mas. Nanti dagangannya ga laku yen ra mesem,” teriakku. Jelas saja tidak laku, aku tidak jadi membeli sekuntum mawar di tokonya.

Apa sebenarnya yang membuat seseorang menjadi Katolik? Dengan dibaptiskah? Dengan pergi misa setiap harikah? Dengan menerima komunikah? Dengan berdoa rosario setiap hari berkeliling dari rumah ke rumah di lingkungankah? Dengan berziarah ke Gua Maria atau ke Candi Hati Kudus Yesuskah? Dengan bermeditasi Kristianikah? Dengan Brevir sehari lima kalikah? Dengan berdevosi pada para kuduskah? Dengan aktif di OMK-kah? Dengan ubyang-ubyung dengan sesama orang Katolikkah? Dengan menjadi prodiakonkah? Dengan aktif menjadi Dewan Parokikah? Dengan melayani altarkah? Dengan memakai jubah sebagai seorang frater, bruder, atau susterkah? Dengan berkalung rosariokah? Dengan memasang salib ber-corpus dan patung Bunda Mariakah? Dengan menjadi seorang imamkah? Dengan menulis kata ‘katolik’ di kolom agama pada KTP-kah? Dengan menikahi seorang Katolikkah? Dengan memahami dan menghafal teologi Katolik yang memiliki rumusan-rumusan sulit itukah? Dengan mencintai, mengasihi, dan memanusiakan manusiakah? Dengan merawat alamkah? Apakah dengan menjadi mantan biarawan seseorang masih Katolik? Apakah dengan menikahi seorang yang bukan Katolik seseorang tak lagi menjadi Katolik? Apakah dengan mengganti kotbah dengan visualisasi seorang pastor tak lagi menjadi Katolik? Apakah dengan tidak mewujudnyatakan ajaran Kristus seseorang masih layak menjadi Katolik? Apa yang sebenarnya membuat seseorang menjadi Katolik?
“Sudahlah, Pah. Ga usah dipikir yang tadi. Tu dilihat Damar.”
“Lha ya orang itu tadi tu... .”
“Pah, lupa sama Levinas ya? Kayak ga pernah belajar filsafat aja sih? Mungkin aja, ‘kan, orang itu tadi sedang mengalami hari yang buruk, atau kelelahan, atau masalah yang kita tidak ketahui? Harusnya kita kasihan padanya, karena tak mampu menanggung masalahnya itu, dia meluapkannya pada orang lain. Ya, sayangnya orang lainnya itu kamu.”
“Iya juga ya. Mungkin karena aku terlalu banyak membaca Kierkegaard dan Sartre. Maaf... .”
“Lo, kok minta maaf padaku sih?”
Pada lampu merah kami berhenti. Ada seorang wanita dengan menggendong seorang bayi mengemis di perempatan itu. Dalam hati aku mencibir, pasti anak itu bukan bayinya. Lagi pula dia masih muda, mengapa tidak bekerja, eh, malah mengemis. Kemudian aku teringat nama Levinas lagi. Ya ampun, maafkan aku ya, Bu, aku sudah tak berniat memberi, tak pula memberi solusi ekonomi, eh, malah mencibirmu. Aku melirik ke arah istriku.
“Ndak ada receh, Pah?”
Aku menggelengkan kepala.
“Damar, ambilkan Mamah dua potong roti yang kita beli di warung Bubur Ayam tadi donk.”
“Buat ibu cama dedek itu ya Mah?” tanya Jagoan Kecilku sembari menyerahkan dua potong roti miliknya.
“Iya. Nanti Mamah ganti ya?”
“Ndak ucah, Mah. Mamah cama Papah lebih enak dali loti, hehehehe. Atu mau Mamah cama Papah aja.”
Istriku membuka jendela mobil. Wajahnya yang cantik itu semakin indah ketika tersenyum. Senyumnya menyandera hatiku, menentramkan jiwaku. Mungkin dengan senyum yang sama, senyum yang sederhana itu, kita dapat menerangi dunia, menyapa tiap hati tanpa kata. Dia tersenyum kepada wanita pengemis yang menggendong bayi itu.
“Bu, kami ndak punya receh. Roti mau ya?”
“Matur nuwun, Den,” tersenyum wanita itu menjawab dan lalu berlalu.
Ah, istriku, betapa beriman dirimu. Kadang aku lupa, hidup rohani itu tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari, bahkan kehidupan sehari-hari itulah hidup rohani kita, sebab jiwa dan badan itu dua hal yang tak terpisahkan. Kadang aku terjebak dalam hierarki metafisis; aku merasa puas dan cukup jika sudah berdoa atau misa. Ah, istriku, aku takkan pernah menyesal mencintaimu, takkan pernah menyesal menikahimu. Saat menulis kalimat ini, aku melirik ke arah Agatha, istriku, yang tengah terlelap. Maria Agatha, istriku, semoga kamu pun tak pernah menyesal telah melepas habet itu dan hidup bersamaku.

Tepi Jakal, 16 Maret 2010
Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments

  1. wah, dawa men!! aras2en meh maca!!

    ReplyDelete
  2. Wakakakakakakakakakaka :D Mula dakkirim via email ben isa di-down load. Dadi, isa diwaca nang omah ro ngopi :P

    ReplyDelete
  3. emang pentinge opo maca tulisanmu?hahaha

    ReplyDelete
  4. Membunuh waktu, tinbang nglanjor, wehehehehe :P

    ReplyDelete

Post a Comment