KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

LUDWIG ANDREAS FEUERBACH (Homo Homini Deus)

LUDWIG ANDREAS FEUERBACH (Homo Homini Deus)
-Padmo Adi-


Ludwig Andreas Feuerbach terkenal dengan bukunya “Das Wesen des Christentums/The Essence of Christianity/Inti Kristianitas”. Buku ini oleh Arnold Ruge, Karl Marx, Friedrich Engels, Richard Wagner, dan David F. Strauss dikatakan sabagai “Kebenaran pada Masa Kita”. Thesis dari buku ini sebenarnya hanya sederhana dan berangkat dari filsafatnya yang berlatar belakang Hegelian –Feuerbach adalah seorang Hegelian sayap kiri– tetapi ketika semakin menyelami buku itu, kita akan mendapati pembahasan yang jauh lebih rumit.

Feuerbach menerima dari Hegel suatu konsep tentang bagaimana seorang manusia menjadi diri sendiri. Untuk menjadi diri sendiri, seseorang harus menjadi obyek bagi dirinya sendiri. Ibaratnya, seorang aktor mengetahui dirinya adalah seorang aktor dengan memainkan sebuah naskah drama di atas pertunjukan teater dan diapresiasi oleh penonton. Seseorang memiliki hakikat. Dengan mengobyektivasi hakikatnya itu, seseorang dapat memandang dirinya sehingga mengetahui siapa dia sebenarnya. Dia memproyeksikan hakikatnya itu keluar sehingga menjadi nyata dan dia dapat mengamati dan mengenalinya.

Sejauh ini Feuerbach membicarakan hakikat individual, bagaimana seseorang mengenali dirinya sendiri dengan memproyeksikan hakikatnya itu ke alam obyektif. Namun, Feuerbach tidak hanya berhenti pada pembicaraan itu. Dia mengatakan bahwa,”Aku akan menjadi aku yang sejati berkat adanya kamu. Manusia baru menjadi manusia berkat manusia yang lain.” Hubungan itu tidak hanya terbatas pada hubungan antarindividu, tetapi adalah hubungan bangsa manusia (Gattung).

Manusia sebagai individu itu terbatas. Manusia menyadari dirinya terbatas karena dia melihat bahwa bangsa manusia, sekumpulan besar manusia, adalah tidak terbatas. Feuerbach sepertinya tidak membatasi kumpulan manusia ini (Gattung) dengan waktu, sehingga baik manusia yang hidup di masa prasejarah, masa kuno, masa medieval, masa modern (sezaman dengannya sendiri), dan masa postmodern adalah satu bangsa manusia yang menjadi obyek seorang individu untuk mengenali dirinya sendiri. Feuerbach berkata,”Individu memang dapat dan harus merasakan dan menyadari dirinya terbatas karena ketidakterbatasan bangsa manusia merupakan obyek baginya.”

Karena menyadari dirinya sebagai individu terbatas, manusia melahirkan suatu ideal-ideal tertentu. Misalnya, manusia menyadari bahwa dia adalah makhluk yang terikat pada ruang dan waktu dan kelak suatu waktu dalam hidupnya dia akan mengalami apa yang disebut dengan kematian, maka manusia mengidealkan sesuatu yang tak terikat ruang dan waktu, yang kekal, yang tak dapat mati. Hal itu kemudian menjadi ide tentang kekekalan dan keabadian. Lebih jauh, hal ini kemudian melahirkan ide tentang Allah yang kekal dan yang kemudian disembah dalam agama dan kepada-Nya sang manusia beriman.

Menurut Feuerbach, kepercayaan religius manusia kepada Allah merupakan kepercayaan manusia kepada ketidakterbatasan dan kebenaran hakikatnya sendiri. Sejauh ini Feuerbach menilai positif agama. Agama adalah proyeksi hakikat manusia. Dalam agama manusia dapat melihat siapa dia, misalnya bahwa dia kuasa, kreatif, baik, berbelaskasihan, dapat saling menyelamatkan, penuh cinta-kasih, selalu mencipta, rela berkorban, bijaksana, pemurah, pengampun, dll. Proyeksi itu kemudian dipersonifikasikan dan diberi nama Tuhan, Allah, atau dengan sebutan apapun manusia menyebut-Nya. Maka, sebenarnya bukan Tuhan yang menciptakan manusia seturut gambar dan rupa-Nya, melainkan manusialah yang menciptakan Tuhan seturut gambar dan rupanya.

Manusia lupa bahwa itu adalah proyeksi diri mereka sendiri. Mulai titik ini Feuerbach melancarkan serangannya. Proyeksi yang pada akhirnya dipersonifikasikan itu dianggap benar-benar ada dan mandiri, sebagai subyek yang bereksistensi pada Diri-Nya sendiri. Personifikasi yang disebut Tuhan, Allah, atau dengan sebutan apapun manusia menyebut-Nya itu pada akhirnya disembah padahal tidak nyata. Manusia lupa bahwa yang dia sembah sebenarnya tak lain adalah proyeksi dirinya sendiri (dan Trinitas itu tak lain adalah ideal manusia akan budi, kehendak, dan cinta). Manusia sebegitu terpesona oleh sembahannya yang tak terbatas itu, bahkan kemudian dia menjadi takut.

Bukannya manusia berusaha mewujudkan diri sesuai dengan hakikat dan ideal yang dia proyeksikan, manusia malah menyembah dan mengharap berkat dari proyeksinya itu. Sebagai gambaran adalah Bangsa Israel yang membuat patung lembu emas dan kemudian menyembah ciptaannya sendiri. Manusia menjadi pasif. Dengan demikian manusia teralienasi dari hakikatnya sendiri. Agama justru mengasingkan manusia dari kesejatian dirinya sendiri. Dari pada bersusah-susah memanifestasikan kemanusiaannya, dari pada berusaha menjadi kuat, menjadi murah hati, menjadi penuh cinta-kasih, menjadi adil, menjadi baik, manusia justru lebih senang memandangi idealnya tersebut, menyembahnya, dan mengharapakan sifat-sifat itu dianugerahkan kepadanya. Dari pada bersusah-susah mengusahakan kebahagiaan sewaktu masih hidup dalam kini-sini, manusia lebih senang berharap bahwa kelak suatu saat nanti akan ada kehidupan setelah kematian di mana manusia dapat bahagia selamanya.

Secara khusus, penyembahan proyeksi ideal dirinya sendiri itu menghambat manusia memanifestasikan hakikatnya yang adalah makhluk sosial. Maka, tak heran jika manusia beragama dengan agama apapun sering tampak intoleran dan fanatik. Feuerbach yakin bahwa kepercayaan kepada Tuhan, Allah, atau dengan nama siapapun manusia menyapa-Nya, hanya akan menghalangi kedewasaan, kebebasan (mengada) manusia, kemajuan, ilmu pengetahuan, dan pencerahan.

Maka, menurut Feuerbach, agar alienasi itu dapat teratasi dengan baik dan manusia dapat menjadi dirinya sendiri secara utuh-penuh, manusia perlu menihilkan agama. Ia harus menarik agama ke dalam dirinya sendiri. Teologi harus menjadi antropologi. Dan, manusia akan menyadari bahwa yang selama ini dia sembah, yang kepada-Nya manusia berdoa, yang kepada-Nya manusia takut, yang kepada-Nya manusia terpesona, yang kepada-Nya manusia beriman, sebenarnya tak lain adalah hakikat kemanusiaannya sendiri. Homo homini Deus.

Bibliogarfi
Hardiman, F. Budi
2007 FILSAFAT MODERN, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia

Jacobs, Tom
2006 PAHAM ALLAH, Dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius

L. Tjahjadi, Simon Petrus
2007 TUHAN PARA FILSUF DAN ILMUAN, dari Descartes sampai Whitehead, Yogyakarta: Kanisius

Magnis-Suseno, Franz
2006 MENALAR TUHAN, Yogyakarta: Kanisius

Comments