KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Merefleksikan Kembali Lembaga Perkawinan Terutama dalam Pandangan Katolik Pascakonsili Vatikan II

Merefleksikan Kembali Lembaga Perkawinan Terutama dalam Pandangan Katolik Pascakonsili Vatikan II
-Yohanes Padmo Adi Nugroho-

Pengantar
Perkawinan disadari memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama dari perkawinan adalah dimensi sosial sedangkan dimensi kedua dari perkawinan adalah dimensi personal. Ada kalanya dimensi yang satu lebih berat dibanding dimensi yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan sosial-budaya dan ideologi yang ada di dalam masyarakat. Ketika adat istiadat, agama, keluarga besar, sosial-masyarakat, bahkan negara begitu menentukan dan mengatur perkawinan, dimensi sosial lebih menonjol dari pada dimensi personal, bahkan bisa jadi dalam titik ekstrim dimensi personal begitu saja dengan mudah dikorbankan. Ketika individu personal lebih menonjol dan menganggap bahwa kawin atau tidak kawin adalah urusan pribadi, dimensi personal lebih menonjol, bahkan dalam titik ekstrim terjadi pemberontakan terhadap dimensi sosial dalam bentuk “kumpul kebo”.

Saya tertarik untuk merefleksikan kembali hakikat perkawinan dilihat dari dua dimensi tersebut, terutama melihat kembali pandangan Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II mengenai hakikat perkawinan. Pada umumnya tarik-ulur kedua dimensi tersebut bersifat dinamis mengikuti perkembangan masyarakat pada bidang-bidang yang lain. Pada suatu masa perkawinan menjadi sangat legalistis. Di masa yang lain lembaga perkawinan mengalami krisis. Krisis ini pada sekitar abad IV disebabkan oleh pandangan negatif terhadap hidup perkawinan dalam kaitanya dengan persanggamaan, dilawankan dengan pandangan akan kekudusan hidup selibat (perawan). Dewasa ini lembaga perkawinan dipertanyakan lagi. Meskipun seorang lelaki setia menjalani hidup bersama dengan seorang perempuan, sering kali mereka enggan “meresmikan” hubungan mereka di dalam lembaga perkawinan. Dari pada melulu kawin-cerai, lebih baik setia pada pasangan yang sama walau tanpa diresmikan. Lembaga perkawinan kembali mengalami krisis.

Definisi Perkawinan
Perkawinan pada umumnya menggambarkan realita manusiawi kehidupan bersama lelaki dan perempuan oleh karena sebuah ikatan yang membenarkan mereka untuk tidur bersama, bersanggama, dan memiliki anak bersama. Perkawinan memberi mereka ruang untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama-sama. Perkawinan menjadi lembaga yang menegaskan, mengesahkan, dan melegalkan ikatan manusiawi lelaki-perempuan. Perkawinan memiliki dua dimensi: sosial dan personal. Perkawinan dengan dimensi sosial lebih kuat dibandingkan dimensi personal, cinta antarpribadi tidak pernah dijadikan titik tolak dan alasan. Tidak pernah ada hukum perkawinan, baik itu hukum sipil, hukum adat, maupun hukum agama, yang mengatur perkawinan berdasarkan cinta. Cinta hanya diandaikan. Sedangkan di dalam perkawinan dengan dimensi personal lebih kuat dari pada dimensi sosial, cinta (amor, eros) sangat berperan; seseorang akan keberatan menikah dengan orang yang tidak dicintainya.

Eros atau amor adalah suatu daya tarik hampir tak tertahankan yang secara spontan, tidak dicari-cari orang, dialami dan yang menarik diri orang kepada seseorang (atau sesuatu) begitu rupa, sehingga, orang ingin menyatu dengannya. Namun, eros pada dirinya sendiri tidak eksklusif, sehingga dapat merangkul berbagai orang (obyek). Eros (cinta-birahi) perlu dibedakan dengan agape (cinta-kasih). Agape adalah daya pada diri orang itu sendiri yang mendorong dirinya untuk melepas dan mengosongkan dirinya, meskipun yang lain tidak menarik secara spontan. Maka, agape dapat sepihak; walau hendak menyatu dengan yang dikasihi, dia tidak memasang syarat bahwa yang lain pun mau menyatu. Walau hakikatnya berbeda, eros dan agape tidak saling bertolak belakang. Walau agape tidak tergantung pada eros, agape dapat menemukan realisasinya di dalam eros.

Cinta Sebagai Dasar Perkawinan
Cinta sebenarnya lebih rumit dari pada sekadar dikotomi eros-agape. Seorang lelaki dan seorang perempuan untuk dapat memutuskan melangkah masuk ke dalam lembaga perkawinan harus memahami sedalam apa kualitas cinta mereka satu dengan yang lain. Kualitas cinta itu bertahap. Tahap-tahap inilah yang membedakan macam-macam kualitas cinta. Salah satu kualitas cinta disebut ludus, yaitu cinta sebagai permainan. Seorang perempuan menyukai lelaki yang suka membuat puisi; dia menyukai lelaki itu yang berperan sebagai seorang lelaki romantis-puitis. Sang perempuan dimabuk kepayang atau mengalami infatuasi oleh karena peran tersebut. Cinta ludus tidak akan bertahan karena kepribadian seseorang mungkin akan sangat berlainan dengan peran/topeng/kesan pertama yang dia mainkan.

Cinta ludus akan lenyap ketika tidak dikembangkan ke arah yang lebih serius. Pematangan cinta ini tidak secara instan dan serta-merta, tetapi membutuhkan proses. Proses ini tak lain adalah proses mengenal, memahami, dan menerima pasangan yang dicintai. Dewasa ini, proses ini dikenal dengan proses “pacaran”. Setiap pasangan memiliki proses masing-masing sehingga wajar ada pasangan yang telah berpacaran selama bertahun-tahun belum juga menikah; ada yang walau setelah pacaran lama, akhirnya putus; ada yang baru pacaran sebentar sudah berani menikah. Cinta adalah voluntas, sebuah kehendak yang akan menggerakkan seluruh kemanusiaan. Aku mencintai seseorang, berarti aku akan melakukan apa saja untuk membuat dia bahagia, melakukan apa saja hanya untuk dia. Namun, itu bukan berarti aku menihilkan kemanusiaanku. Justru cinta (dalam perspektif hubungan lelaki-perempuan) merupakan sebuah dialog terus-menerus antara dua subyek yang otonom. Dalam dialog intersubyektif itu, lelaki-perempuan yang saling mencintai berproses mematangkan cinta. Kierkegaard menggambarkan cinta dialogis ini tidak terjadi secara nikmat melulu, melainkan justru dialami juga dengan penuh luka dan rasa sakit.

Cinta memang adalah nilai tertinggi yang patut diperjuangkan dan tidaklah mudah untuk mendapatkan sebuah nilai tertinggi, perlu pengorbanan di sana. Tentu pengorbanan itu menghasilkan luka. Namun, lebih dari pada luka itu, sepasang kekasih itu akan menemukan kebahagiaan sejati ketika mereka berhasil mengenal, memahami, dan menerima pasangan mereka, bahkan dapat hidup bersama dengan pasangan tersebut. Dinamika mencintai dan dicintai ini akan mendewasakan lelaki-perempuan sehingga merasa mantab untuk melegalkan cinta mereka di dalam lembaga perkawinan. Seberapa dalam cinta itu, apakah hanya ludus atau sebuah agape yang berani mengorbankan diri demi kekasih, memang sangat berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan pribadi seseorang. Itulah mengapa di dalam hukum terdapat batasan usia menikah, usia di mana diandaikan lelaki dan perempuan sudah cukup dewasa untuk saling bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan pasangan masing-masing. Pada umumnya, ludus dialami oleh para remaja. Kita mengenalnya di dalam fenomena “cinta monyet”. Seiring beranjak dewasa seseorang, dia akan belajar lebih tentang cinta, bagaimana dicintai dan bagaimana mencintai, tidak semata-mata naksir atau ngefans belaka.

Cinta antara lelaki dengan perempuan itu unik, bahkan ekslusif. Cinta lelaki-perempuan itu berbeda dengan cinta orang tua kepada anaknya. Plato dan Aristoteles membedakan cinta orang tua, anak, dan persahabatan (philia) dengan cinta lelaki-perempuan (eros). Philia tidak memiliki dan tidak perlu memiliki komponen seksual, bahkan dimengerti sama sekali tidak melibatkan keinginan seksual. Sedangkan eros lebih menggambarkan hubungan antarpribadi yang melibatkan keinginan seksual. Eros dialami sebagai daya yang menarik seseorang mendekat kepada dan bersatu dengan obyek tertentu. Jika obyek itu adalah seorang pribadi manusia, daya yang menarik seseorang untuk mendekat kepada dan bersatu dengannya tak lain adalah keinginan seksual. Disadari atau tidak, hal ini nyata di dalam ketertarikan seseorang kepada orang tertentu berdasarkan sex appeal-nya (daya tarik seksualnya). Psikolog evolusioner, Devendra Singh, dari Universitas Texas di Austin, USA, menyimpulkan bahwa lelaki akan terpikat pada bentuk tubuh perempuan yang memiliki proporsi lingkar pinggang dan lingkar pinggul sebesar 7:10 sebab di alam bawah sadar lelaki proporsi itu seksi walaupun berat badan perempuan-perempuan itu berbeda-beda. Antropolog-Biolog dari Universitas Harvard, Grazyna Jasienska, menyimpulkan lebih lanjut bahwa ketertarikan akan figur seksi itu berkaitan erat dengan hasrat bawah sadar lelaki akan keturunan sebab perempuan dengan proporsi semacam itu memiliki kemungkinan menghasilakn keturunan tiga kali lebih besar. Lelaki dan perempuan memiliki kemampuan untuk mencinta yang mengalir dan menguasai tubuh mereka. Manusia mencintai juga dengan tubuhnya (seksualitasnya). Dengan tubuhnya lelaki-perempuan yang saling mencintai ingin saling memberikan diri dengan bebas (free), sepenuh-penuhnya (total), setia (faithful), dan berbuah (fruitful). Cinta lelaki-perempuan yang melibatkan keinginan seksual inilah yang mendorong lelaki dan perempuan untuk meresmikan dan melegalkannya di dalam lembaga perkawinan.

Unsur cinta lelaki-perempuan inilah yang sebenarnya memisahkan dua dimensi lembaga perkawinan. Dimensi yang satu menekankan cinta lelaki-perempuan (sepasang kekasih) sebagai dasar dan alasan kuat mengapa lelaki dan perempuan bersatu secara legal di dalam lembaga perkawinan. Sedangkan, dimensi yang lain menihilkan unsur cinta ini. Lembaga perkawinan semata lembaga sosial masyarakat. Orang dapat menikah bahkan tanpa cinta.

Perkawinan Sebagai Lembaga
Lembaga Perkawinan ialah seberkas aturan yang ditentukan masyarakat yang bersangkutan dan mereka yang mesti menghayati seksualitasnya dalam rangka lembaga itu. Bukan lelaki-perempuan yang kawin yang menentukan aturan-aturan di dalam lembaga perkawinan, melainkan justru masyarakat dalam waktu dan keadaan tertentu yang menentukannya. Masyarakat itu dapat dalam arti sempit (keluarga besar) hingga dapat dalam arti luas (negara). Lelaki-perempuan yang kawin tak dapat berbuat apa-apa selain menerima semua aturan dalam lembaga perkawinan itu. Namun, sebagai imbalannya, lelaki-perempuan yang kawin dapat dengan bebas menghayati seksualitasnya.

Jelas, lembaga perkawinan tak lain adalah segala aturan, hukum, norma yang ada di dalam suatu keadaan sosial tertentu yang melegitimasi hubungan lelaki-perempuan termasuk hubungan seksual. Segala aturan, hukum, norma itu berbeda antara tradisi yang satu dengan tradisi yang lain, berbeda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lain, berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lain. Ada masyarakat yang dapat menerima lelaki kawin dengan banyak perempuan, ada juga yang dapat menerima perempuan kawin dengan banyak lelaki. Namun, ada pula yang menentangnya dan mengharuskan perkawinan itu hanya antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Ada masyarakat yang dapat menerima perceraian, ada pula masyarakat yang tidak menghendaki perceraian suami-istri bahkan di dalam keadaan tersulit sekalipun.

Di Indonesia sendiri terdapat berbagai macam jenis lembaga perkawinan menurut adat-tradisi dan agama. Semua jenis lembaga itu dipayungi oleh UU tahun 1974/1975. UU Perkawinan No. 1/1974 I pasal 1 menyatakan bahwa hakikat dan tujuan perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. UU Perkawinan No. 1/1974 I pasal 3 menyatakan bahwa perkawinan hanya terjadi antara seorang lelaki dan seorang perempuan saja. Perkawinan yang dianggap sah menurut hukum sipil Indonesia adalah perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan masing-masing orang. UU Perkawinan No. 1/1974 pasal 2 $1 menyatakan bahwa perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya. Indonesia (hanya) mengakui enam agama. Dari keenam agama itu setidaknya ada dua agama yang memiliki aturan hukum perkawinan yang jelas, yaitu Islam dengan Syariat Islam dan Kristen Katolik Roma dengan Codex Iuris Canonici. UU Perkawinan itu sebenarnya menimbulkan berbagai masalah terutama bila lelaki-perempuan yang hendak menikah tidak memiliki agama/kepercayaan yang sama. Namun, perkawinan adat bagi masyarakat Indonesia, terutama masyarakat adat di luar Pulau Jawa, sebenarnya jauh lebih penting dari pada perkawinan religius. Upacara perkawinan di Gereja atau di Masjid hanya artifisial saja.

Hukum Perkawinan yang dibuat oleh negara memang bisa dijadikan pedoman moral. Akan tetapi, Hukum Perkawinan yang dibuat oleh negara yang memiliki warga negara majemuk juga dalam hal agama seperti Indonesia bukanlah satu-satunya pedoman moral. Bahkan, Hukum Perkawinan dibuat terutama bukan sebagai persetujuan moral sama sekali. Hukum itu dibuat untuk mengatur hidup bersama yang lebih terkontrol di seluruh wilayah Indonesia. Maka, bisa terjadi Hukum Perkawinan yang dibuat oleh negara bertentangan dengan Hukum Perkawinan yang ada pada agama. Biasanya pertentangan ini terjadi antara Hukum Perkawinan negara dengan Hukum Perkawinan agama minoritas karena Hukum Negara yang seragam dan tegas itu tentu dipengaruhi oleh suara mayoritas. Walaupun negara pada prakteknya mengizinkan perceraian dan poligami, misalnya, tentu hal ini langsung bertentangan dengan moral dan hukum perkawinan Kristen (Katolik Roma) yang menjunjung tinggi monogam-tak terceraikan.

Bagi masyarakat Indonesia, baik masyarakat adat maupun masyarakat perkotaan modern, perkawinan (masih) menjadi peristiwa penting, bukan hanya bagi mereka yang menikah, melainkan terutama juga bagi seluruh kelompok yang bersangkutan (keluarga, komunitas, lingkungan sosial). Perkawinan di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, bukan terutama perkara lelaki-perempuan yang menikah, melainkan suatu perkara dua kelompok sosial (keluarga, kelompok, suku, kelas). Masalah cinta lelaki-perempuan yang menikah hanya diandaikan saja, bahkan tidak dianggap sama sekali.

Di Indonesia dewasa ini, walau perkawinan berdasarkan cinta bebas antar individu semakin dijunjung tinggi di berbagai kota besar, masih dapat kita temui seorang lelaki yang dijodohkan oleh keluarga, marga, atau klannya dengan seorang perempuan dari keluarga, marga, klan yang bersahabat dengan keluarga, marga, klan sang lelaki. Lelaki dan perempuan ini belum pernah bertemu sebelumnya, belum pernah pacaran sebelumnya. Keluarga, marga, klan yang menjodohkan mereka memang berharap pasangan itu dapat saling cocok dan langgeng, walau mereka yang menjodohkan itu tidak begitu menghiraukan masalah cinta. Bagi keluarga, marga, klan yang menjodohkan kedua pasangan itu persatuan cinta lelaki-perempuan itu bukanlah masalah utama dan pertama; cinta hanya diandaikan saja, bahkan bisa jadi tidak dianggap sama sekali. Perkawinan harus mendukung kedudukan sosial dan ekonomis keluarga, marga, klan yang bersangkutan. Motivasi utama perkawinan adalah etnis sosio-ekonomis , bahkan religius. Bagi masyarakat Indonesia pada umunya, seperti yang lestari dalam adat-istiadat, jika aku cinta kamu, kamu milikku. Aku ‘membeli’ kamu dengan mas kawin (istilah Jawa asok tukon, tukon dari kata tuku yang berarti membeli). Bahkan, dalam salah satu agama di Indonesia, cinta tidak penting dalam membina rumah tangga. Aku suka kamu maka aku akan melamar kamu, tidak peduli kita saling mengenal dan saling mencinta atau tidak. Kalau kamu menolakku, kamu telah berdosa. Dengan menikah aku akan menerimamu apa adanya, begitu juga kamu, atau kita bercerai. Dan, seiring berjalannya waktu, pasti akan tumbuh cinta. Hal tersebut di atas jangan terlalu cepat dianggap sebagai “kawin paksa” sebab dalam masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di daerah, rasa kesetiakawanan di dalam kelompok sosial jauh lebih kuat dari pada rasa sebagai individu. Menurut dan membiarkan masalah perkawinan diatur oleh keluarga (besar) masih merupakan hal yang wajar.




Perkawinan menurut Pandangan Katolik Pascakonsili Vatikan II
Gereja Katolik memandang perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir-batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan dengan tujuan unitif (persatuan cinta di dalam keluarga), prokreatif (terbuka terhadap keturunan/anak dan kesejahteraannya), membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera. Perkawinan merupakan lembaga yang unik karena di dalam perkawinan terdapat perjanjian (feodus) kontrak yang eksklusif antara lelaki-perempuan untuk membentuk suatu persekutuan (consortium) seluruh hidup dan tak terceraikan terkecuali oleh kematian. Kanon 1055 $1 menyatakan bahwa Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang lelaki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen. Sedangkan, Kanon 1056 menyatakan bahwa ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. Selain itu, eksklusivitas perkawinan nampak di dalam keintiman hubungan seksual yang dilegalkan di dalam lembaga itu.

Perkawinan bagi Gereja Katolik merupakan sakramen. Suami-istri saling menerimakan Sakramen Perkawinan. Suami-istri saling membentuk persekutuan hidup (communio personarum). Dengan Sakramen Perkawinan suami-istri Katolik menandakan misteri kesatuan dan cinta-kasih yang subur antara Kristus dan Gereja dan ikut serta menghayati misteri tersebut. Di dalam perkawinan suami-istri diutus secara unik untuk ambil bagian di dalam tugas perutusan Gereja, mewartakan Kerajaan Allah. Lelaki dan perempuan dipanggil melalui cinta-kasih yang tumbuh di antara mereka untuk menjadi saksi cinta-kasih Allah sendiri melalui lembaga perkawinan yang di dalamnya cinta-kasih mereka dilegalkan dan disahkan. Maka, setiap lelaki dan perempuan harus meyakinkan diri mereka sendiri apakah mereka dipanggil untuk hidup perawan atau berbagi hidup dengan pasangan yang dicintai dan mencintainya di dalam lembaga perkawinan.

Di dalam Gaudium et Spes – GS 48 Gereja mengajarkan bahwa perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup dan kasih mesra antara suami-istri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya, dibangun oleh perjanjian perkawinan yang tak dapat ditarik kembali. Tindakan manusiawi itu mendapat keteguhannya di dalam masyarakat berdasarkan ketetapan ilahi. Ikatan suci itu tidak semata-mata tergantung dari kemauan manusiawi lelaki-perempuan semata, tetapi justru Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan. Allah sendiri yang memanggil seorang lelaki dan seorang perempuan untuk saling mencintai dan mengukuhkan cinta-kasih mereka di dalam perkawinan. Maka, hendaknya lelaki dan perempuan yang saling mencintai membentuk sebuah keluarga dengan mengesahkan persatuan cinta mereka di dalam perkawinan, bukan sekadar “kumpul kebo”, karena persatuan itu tidaklah semata tindakan manusiawi, melainkan karya Allah.

Gaudium et Spes – GS 48 juga menggambarkan perkawinan sebagai suatu persatuan mesra, sebagai suatu tindakan saling menyerahkan diri antara dua pribadi. Penyerahan diri itu, juga kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami-istri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu. Gaudium et Spes – GS 49 menerangkan bahwa sering kali para mempelai dan suami-istri diundang oleh sabda ilahi untuk memelihara dan memupuk janji setia mereka dengan cinta yang murni dan perkawinan mereka dengan kasih yang tak terbagi. Gereja mengakui dan menghargai cinta-kasih antara seorang lelaki dengan seorang perempuan sebagaimana orang-orang zaman sekarang menghargai cinta-kasih itu yang diungkapkan menurut adat-istiadat para bangsa dan kebiasaan zaman yang terhormat. Gereja juga menerangkan bahwa cinta-kasih itu, karena sifatnya sungguh sangat manusiawi, dan atas gairah kehendak dari pribadi menuju kepada pribadi, mencakup kesejahteraan seluruh pribadi; maka mampu juga memperkaya ungkapan-ungkapan jiwa maupun raga dengan keluhuran yang khas, serta mempermuliakannya sebagai unsur-unsur dan tanda-tanda istimewa persahabatan suami istri. Cinta-kasih suami-istri itu semakin sempurna dan berkembang karena kemurahan hati yang rela berjerih-payah. Oleh karena itu jauh lebih unggul dari rasa tertarik yang erotis melulu, yang ditumbuhkan di dalam cinta diri, dan menghilang dengan cepat dan amat menyedihkan. Maka, sebelum seorang lelaki dan seorang perempuan meresmikan hubungan mereka di dalam lembaga perkawinan, hendaknya mereka mengembangkan dan mematangkan cinta di antara mereka terlebih dulu sehingga cinta itu bukan melulu ludus atau eros yang meledak-ledak, bukan melulu ketertarikan (sesaat) kepada sex-appeal pasangan, bukan juga merupakan cinta yang senantiasa haus dan meminta yang terbit dari egosentrisme dan rasa posesif, melainkan merupakan agape yang tenang dan rela berkorban demi kebahagiaan yang dicintai, sebuah voluntas untuk memberi dan berbagi seluruh hidup dan kemanusiaan bersama pasangan.

Paus Yohanes Paulus II di dalam Seruan Apostolik “Familiaris Consortio” menyerukan bahwa baik manusia itu dipanggil untuk hidup perawan maupun dipanggil untuk menikah, manusia diciptakan karena cinta dan diutus untuk mencinta. Secara khusus lelaki-perempuan yang dipanggil untuk menikah harus saling mencintai pasangan mereka masing-masing secara penuh baik secara jasmaniah maupun batiniah. Sejak Konsili Vatikan II cinta sebagai dasar dan alasan menikah semakin mendapat perhatian walaupun Kitab Hukum Kanonik tidak mengaturnya dan hanya mengandaikannya. Dimensi personal perkawinan semakin diangkat dan dihargai. Cinta bukan lagi sekadar pelengkap di dalam perkawinan, tetapi justru menjadi unsur utama yang membangunnya. Bahkan, cinta lelaki-perempuan menjadi lambang cinta kasih Allah kepada umat-Nya. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa cinta suami-istri merupakan ungkapan dan perwujudan cinta antara Allah dan umat-Nya, perjanjian kasih yang setia. Maka, ketidaksetiaan suami-istri tidak cocok dengan hakikatnya sebagai simbol kesetiaan cinta Allah.

Perayaan Cinta
Oleh karena perkawinan dibangun dengan unsur utama cinta-kasih, perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu perayaan cinta. Perayaan ini dimulai pada saat upacara perkawinan (wedding) dan diakhiri pada saat salah satu dari keduanya meninggal (karena Gereja Katolik tidak menghendaki perceraian). Perayaan ini mendapatkan wujud legalnya di dalam Perkawinan Kanonik (perkawinan ratum) dan mendapatkan wujud sakralnya di dalam persetubuhan suami-istri (perkawinan consummatum). Di dalam perkawinan yang ratum et consummatum, cinta benar-benar menyatukan jiwa-badan suami-istri secara utuh baik secara legal maupun personal.

Perayaan cinta ini tidak hanya melibatkan lelaki dan perempuan yang saling mencintai. Di dalam Gereja Katolik setidaknya perayaan ini melibatkan pula dua saksi dan seorang imam. Dua saksi mewakili Gereja dan masyarakat dan imam mewakili Allah. Ikut terlibatnya Allah di dalam perayaan cinta ini mengangkat apa yang manusiawi menjadi kudus di hadapan Allah dan sakramen. Bersatunya sorang lelaki dan seorang perempuan oleh karena cinta tidak hanya membahagiakan dua mempelai yang bersangkutan, tetapi juga mendatangkan suka cita bagi Allah. Di dalam perayaan cinta lelaki-perempuan itu cinta dan rahmat Allah dinyatakan dan dimanifestasikan ke tengah-tengah dunia. Paus Yohanes Paulus II di dalam “Familiaris Consortio” menyerukan bahwa perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan simbol nyata dari Perjanjian Baru dan kekal antara Kristus dan Gereja, merupakan sakramen, peristiwa keselamatan; cinta mereka berciri menyatukan jiwa-badan, tak terceraikan, setia, terbuka bagi keturunan.

Dari perayaan cinta itu diharapkan hubungan lelaki-perempuan menjadi hubungan bonum coniugum sehingga lingkungan keluarga yang baik tercipta supaya anak yang lahir dari hubungan itu mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh dan mendapatkan pendidikan. Keluarga adalah komunitas pertama dan asal mula keberadaan setiap manusia dan merupakan “persekutuan pribadi-pribadi” (communio personarum) yang hidupnya berdasarkan dan bersumber pada cinta-kasih. Di dalam komunitas pertama itu diharapkan cinta kasih Allah termanifestasi. Paus Yohanes Paulus II mengatakan di dalam “Familiaris Consortio” bahwa perkawinan, sebagai lembaga, dan cinta suami-istri terarah kepada kelahiran dan pendidikan anak. Orang tua harus menjadi tanda yang tampak dari cinta Bapa. Sedangkan mereka yang tak punya anak dapat berbuat sosial dengan adopsi, membantu keluarga lain, anak-anak cacat, dan sebagainya. Dunia yang baik, negara yang baik, sosial-masyrakat yang baik takkan pernah ada jika orang-orang yang membangun dan membentuknya tidak baik. Orang-orang yang baik pada umumnya berasal dari keluarga yang baik. Keluarga yang baik berawal dari perkawinan yang penuh dengan cinta kasih. Perkawinan yang penuh dengan cinta kasih dimanifestasikan oleh orang-orang yang benar-benar terpanggil untuk hidup berkeluarga.

Panggilan hidup manusia itu beragam. Banyak dan pada umumnya manusia terpanggil untuk hidup berkeluarga, akan tetapi tidak menutup kenyataan bahwa ada pula manusia yang terpanggil untuk hidup secara lain, hidup tanpa menikah (selibat). Maka, tiap-tiap orang perlu mencari dengan jujur kehendak Tuhan atas diri mereka: apakah Tuhan memanggil untuk menikah atau tidak. Jawaban atas pertanyaan itu harus dicari dengan jujur, yakni dengan meneliti kemampuan sendiri untuk memenuhi tuntutan-tuntutan moral yang termuat di dalam jenis-jenis panggilan hidup tersebut. Perkawinan bukanlah satu-satunya bentuk perayaan cinta sebab orang yang selibat dapat merayakan cinta dengan cara lain yang khas bagi panggilan hidup selibat.

Perayaan cinta yang paling dangkal tetapi justru paling mutlak bagi mereka yang terpanggil untuk hidup berkeluarga adalah hubungan seksual. Seseorang yang tidak mampu sama sekali untuk melakukan hubungan seksual (impoten), baik karena alasan fisik maupun psikis (trauma misalnya), harus menyadari bahwa keadaannya itu layak ditafsirkan sebagai tanda bahwa dia tidak dipanggil untuk menikah, sebab pernikahan bukanlah semata-mata janji untuk menjadi sahabat atau teman seumur hidup, melainkan juga janji untuk memberikan diri seluruhnya dan seutuhnya kepada pasangan, termasuk pula hak atas hubungan seksual. Terlebih lagi, perkawinan harus terbuka terhadap hadirnya keturunan (anak). Maka, mereka yang memiliki kecenderungan homoseksual, dengan segala hormat, hendaknya juga tidak kawin juga dengan sesama jenis. Jika mereka yang memiliki kecenderungan homoseksual memaksa diri untuk kawin dengan lain jenis, belum tentu perasaan mereka bahagia. Jika mereka yang memiliki kecenderungan homoseksual kawin dengan sesama jenis, apakah hubungan seksual di antara keduanya (entah apakah hubungan kelamin mereka dapat dikatakan hubungan seksual atau tidak) dapat terbuka akan hadirnya keturunan? Biarlah mereka yang memiliki kecenderungan homoseksual membahagiakan diri dan pasangan dalam lembaga persahabatan yang berbeda dari lembaga perkawinan. Hubungan seksual yang terbuka akan hadirnya keturunan, individu baru, adalah hubungan seksual antara lelaki dan perempuan. Gereja Katolik sendiri hanya menghendaki cara yang natural dan wajar dalam menghadirkan keturunan, yakni hubungan seksual.

Hubungan seksual tidak sekadar menyangkut alat kelamin, melainkan juga perasaan, kemauan, dan pikiran , bahkan segenap kemanusiaan termasuk religiusitas. Hubungan seksual sendiri selain menajdi sarana untuk terbuka terhadap keturunan, juga dapat menjadi sarana rekreasi bagi suami dan istri sehingga perkawinan mereka lebih membahagiakan. Hubungan seksual yang berkualitas antara suami dan istri dapat menjadi sumber kebahagiaan perkawinan bahkan dapat membantu suami-istri untuk lebih dekat dengan Tuhan. Seksualitas bukanlah sesuatu yang harus membawa lelaki-perempuan terpisah dari Tuhan. Sebuah temuan dari neurosains memberi kita pemahaman baru mengenai hal ini. Bagian otak yang bernama right temporal lobe (lobus temporal kanan) merupakan bagian yang diasosiasikan dengan orgasme dan pengalaman Ketuhanan. Perayaan cinta dalam bentuk hubungan seksual dapat pula mengantarkan suami-istri kepada pengalaman Ketuhanan.

Berangkat dari persekutuan fisik yang dimanifestasikan di dalam hubungan seksual dan persekutuan yang lain (harta benda bersama, kepemilikan rumah, dll.) suami-istri dapat maju kepada persekutuan yang lebih mendalam, yaitu persekutuan mental dan spiritual. Persekutuan mental meliputi penyesuaian akal, perasaan, dan kehendak. Karena kodrat mereka sebagai lelaki dan perempuan berbeda, suami dan istri mengalami perbedaan cara berpikir, cara merasakan, dan cara menghendaki seusatu. Maka, suami-istri, bahkan semenjak mereka berpacaran, harus selalu berusaha bersekutu juga di bidang-bidang mental itu. Usaha persekutuan itu diwujudkan di dalam dialog mental seperti tenggang rasa, peka terhadap reaksi partner, dan membiasakan diri membicarakan keinginan-keinginan bersama secara terus terang. Suami dan istri diharap semakin titen terhadap pasangan masing-masing sehingga semakin hari semakin mampu memahami dan menerima pasangan tersebut.

Persekutuan spiritual akan lebih mudah dicapai apabila suami-istri memeluk agama yang sama dan memiliki kedalaman iman yang tak jauh berbeda. Dalam keadaan itu mereka dapat secara lebih mudah berbagi pengalaman Ketuhanan bersama. Berbagi pengalaman Ketuhanan bersama akan lebih sulit apabila suami dan istri memeluk agama yang berbeda atau, walaupun secara resmi memeluk agama yang sama, mereka menghayatinya dengan kedalaman yang berbeda. Namun, dalam keadaan berbeda agama, suami-istri masih mungkin untuk berbagi pengalaman Ketuhanan bersama dengan susah payah. Tenggang rasa, toleransi, membiasakan diri, bahkan kehendak untuk menerima dan hidup bersama apa adanya menjadi kunci. Pengalaman Ketuhanan secara mistis yang biasanya membahas cinta-kasih (ilahi) dan manunggaling kawula Gusti dapat melampaui perbedaan agama mereka.

Kesimpulan
Masyarakat modern semakin sadar akan pentingnya cinta di dalam membangun perkawinan. Perkawinan tidak hanya dipandang sebagai lembaga sosial-religius yang melegalkan dan menghalalkan hubungan seksual atau mengesahkan anak, melainkan juga dan terutama sebagai persekutuan hidup pria dan wanita yang berdasarkan dan terarah kepada cinta. Perkawinan merupakan salah satu manifestasi perayaan cinta.

Sebagai suatu manifestasi perayaan cinta, perkawinan tidak hanya melibatkan lelaki dan perempuan yang menikah secara individu-personal, tetapi juga melibatkan masyarakat. Masyarakat di sini dapat berarti masyarakat dalam arti luas (sosial) maupun juga dapat berarti khusus (keluarga atau klan). Sebab, walau cinta personal antarpribadi yang menikah semakin mendapatkan tempat di dalam masyarakat modern, efek dari perkawinan itu selalu menyangkut pula masyarakat sekitar. Lelaki dan perempuan yang menikah mendapatkan status baru di dalam masyarakat dan mereka membangun keluarga yang menjadi komunitas pertama di dalam masyarakat. Maka, sudah layak dan sepantasnya cinta personal antarpribadi itu juga dirayakan bersama masyarakat (komunitas, keluarga, klan), tetapi bukan berarti harus menjadi suatu pesta pora yang mahal dan boros.

Peristiwa perayaan cinta yang manusiawi itu tidak hanya melulu manusiawi, tetapi juga kudus karena dengan bersatunya cinta lelaki-perempuan itu, mereka di antar ke pada persatuan mesra dengan cinta Allah sendiri. Cinta-kasih lelaki-perempuan yang manusiawi itu menggambarkan cinta-kasih Allah kepada umat-Nya. Allah hadir di dalam peristiwa perayaan cinta yang manusiawi tersebut dan mengangkatnya sebagai sebuah sakramen. Maka, sebuah peristiwa perayaan cinta kasih yang manusiawi itu pun merupakan peristiwa keselamatan karena cinta-kasih dan rahmat Allah mengalir melaluinya.


Daftar Pustaka
Dewi, Saras, Cinta Bukan Cokelat, Yogyakarta: Kanisius, 2009
Groenen, C., Perkawinan Sakramental, Yogyakarta, Kanisius, 1993
Konferensi Waligereja Indonesia, Pedoman Pastoral Keluarga, Jakarta: Obor, 2011
Padmo Adi Nugroho, Yohanes, dkk., Sleepless in Seattle, Sebuah Diskusi, paper tidak diterbitkan, 2010
Padmo Adi Nugroho, Yohanes, Tentang Cinta, paper tidak diterbitkan, 2010
Purwa Hadiwardoyo, Al., Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 2010
Purwa Hadiwardoyo, Al., Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Ramadhani, Deshi, Adam Harus Bicara, Yogyakarta: Kanisius, 2010
Santas, Gerasimos, Plato dan Freud, Dua Teori tentang Cinta, terj. Indonesia, Maumere: LPBAJ, 2002

Comments

  1. jos. sebuah pencerahan unt mrk yg blom paham. moga mo baca. (sayang klo dikonsumsi scr publik, bhs ne agk berat hahaha...)

    ReplyDelete

Post a Comment