KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

KIDUNG RINDU

Kidung Rindu

Bulan yang tak jua purnama mengintip di balik awan berarak
Dingin yang menusuk ngilu tidak mampu menghardikku
Mata ini terkantuk tapi masih turut bersama awan berarak
Melayang mengikuti rindu menuju ke pelukan perempuanku

Dalam diam kubayangkan wajah yang menawan kesadaranku
Kusulam satu-persatu kenangan akan masa-masa bersamanya
Mulai dari Tawangmangu di kaki Gunung Lawu
hingga ke Salatiga di kaki Gunung Merbabu
Mulai dari Pajang yang paling sudut di Surakarta
hingga bersembunyi di Gayam Sukoharjo hampir desa
Mulai dari bercinta dengan leluasa di Jogjakarta
hingga memadu asmara dalam sudut ketiak Jakarta
Sepeda tua itu menjadi saksi asmara kami yang membara
Jalanan raya bagai karpet merah menuju altar suci

Kami bagai dua rusa muda berkejar-kejaran di padang yang abadi
Merayakan kejayaan musim semi yang seakan takkan pernah sirna
Mengidungkan Kidung Agung dalam diam yang suci
Merayakan kebesaran cinta dalam hening yang sempurna

Kupuji dia dengan segala puisi
Kupuja dia dengan segenap cinta
Walau kata dalam bahasa selalu dusta dalam merangkai cinta
Dan hanya sepi yang mampu menghargai cinta dengan sempurna

Jika kaubertemu dia, hai orang Jakarta, sampaikan rinduku padanya
Jika kaubertemu dia, hai orang Salatiga, serukan cintaku padanya
Jika kaubertemu dia, hai orang Jogjakarta, bisikkan kenanganku padanya
Jika kaubertemu dia, hai orang Surakarta, tembangkan penantianku padanya

Hanya padanya aku menaruh rindu
Hanya padanya asmaraku bergelora
Hanya wajahnya selalu menghantu
Hanya namanya bergema di kepala


Matanya bagai sepasang purnama dengan jentera bianglala
di sana aku melihat surga yang melingkungi segenap hadirku
Yang kusuka adalah aromanya yang bagai wewangian dupa gereja
membuatku terpekur mendaras mazmur penuh rasa syukur
Tubuh mungil itu adalah altar suci tempat aku mempersembahkan diri
Inilah tubuhku
Inilah darahku
Di mana ada penyerahan diri yang total dan paripurna
Di sanalah cinta dirayakan dengan gegap-gempita


Bibirnya bagaikan cawan berisi anggur penuh
Hendak kuteguk anggur itu hingga mabuk
Hai sahabat-sahabatku,
semua manusia bisa suka pada siapa saja
tapi cinta itu pilihan yang memancar dari hati yang jernih
dan hanya anggur yang menetes dari bibirnya itu sajalah
yang akan kutenggak hingga ajal tiba

Wahai kekasihku
Perempuan yang menjadi idamanku
Akulah lelaki yang menawarkan cinta padamu
bukan dari hasil merengek dan mengiba
melainkan dari hasil segenap kejayaanku

Ah, aku telah dimabuk asmaramu
kini terapung dalam samudera rindu

tepi Jakal, 08 September 2011
Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments