KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Melawan Kekerasan dalam Nama Allah dengan Wajah Lembut Iman akan Allah

Melawan Kekerasan dalam Nama Allah dengan Wajah Lembut Iman akan Allah
(Padmo Adi - FT. 3182)

Pascaera Orde Baru, kebebasan berpendapat menjadi marak. Pemikiran-pemikiran yang dulu dilarang pemerintah mulai dipelajari kembali. Namun, seiring dengan berhembusnya angin segar kemerdekaan berpikir tersebut, menguat pula tendensi kekerasan dan pemaksaan kehendak. Angin segar kebebasan berpendapat dan memeluk kepercayaan itu dilawan dengan sengit oleh kekerasan. Jika dulu situasi konflik adalah vertikal, rakyat dengan negara dan aparatnya, kini situasi konflik adalah horizontal, rakyat dengan organisasi masyarakat tertentu. Bagaimana membahasakan Allah di dalam situasi semacam ini? Apa lagi, kekerasan itu dilakukan justru di dalam nama Allah. Kebebasan berpendapat dan kebebasan memeluk kepercayaan kepada Allah dilawan dengan kekerasan yang mengatasnamakan Allah.
Di dalam situasi yang demikian, wajar jika kita merasa takut. Ketakutan itu kemudian perlahan mengikis kebebasan kita sehingga kemudian kita beragama oleh karena ketakutan, bukan oleh karena kesadaran eksistensial akan sapaan Yang Ilahi. Akan tetapi, nurani kita tidak akan tinggal diam. Hal inilah yang akan memberi kita rasa pedih, bukan karena tubuh kita dihantam oleh kekerasan itu, melainkan karena kita berada di dalam tegangan antara “kepatuhan total kepada determinasi kekerasan itu” dengan “kesadaran bahwa manusia itu bebas”. Sebagai orang Kristiani di Indonesia, pergulatan kita mungkin dapat diartikulasikan dengan mudah sebagai represi mayoritas kepada minoritas, walau hal ini tentu terlalu menyederhanakan. Akan tetapi, jika kita sejenak memberikan empati kepada Irshad Manji[1], kita takkan habis berpikir bagaimana kekerasan itu tidak memiliki kesabaran untuk duduk diam mendengarkan suara dari yang seiman pula.
Irshad Manji dan bukunya "Allah, Liberty, & Love"
Kegelisahan itu justru datang dari seorang muslimah dari Kanada dan bergema pada hati semua orang Indonesia yang memiliki benih-benih kegelisahan yang sama baik yang seiman dengannya maupun yang tidak.

Jika “agama damai” dianut oleh sekian banyak nurani yang secara diam-diam bergejolak, maka tak ada lagi perdamaian yang perlu dibicarakan. Tak ada juga keyakinan. Yang ada hanyalah dogma. Pada kondisi ini, pertanyaannya bukanlah apakah hukum menuntut kepatuhan, tapi apakah hukum layak mendapat kepatuhan.[2]

Ketika saudara-saudara kita sebangsa yang seiman dengan Irshad Manji berusaha berdialektika, mempelajari pemikiran progresif ini, tangan-tangan kekerasan datang lebih dini untuk membungkam mereka. Mereka, juga mungkin kita pula, tidak menyadari bahwa “ada jarak antara cita-cita agama dan realita kehidupan beragama.”[3] Tangan-tangan kekerasan itu turun serta-merta ketika suara-suara kebebasan berkumandang. Klaim mereka adalah bahwa suara-suara kebebasan itu tidak sesuai dengan kebenaran yang diimani. “Sebagai sistem ajaran, agama masih membuka peluang penafsiran yang mendukung bentuk-bentuk kekerasan. [A]papun pembenarannya bila merendahkan martabat manusia suatu penafsiran harus dipertanyakan keabsahannya.”[4] Manusia harus menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Hal ini yang luput dari pemikiran tangan-tangan kekerasan tersebut. Manusia menjadi tujuan pada dirinya sendiri justru oleh karena dia beriman kepada Allah, Sang Hidup.
As far as the presuppositions for the message of the revelation of Christianity are concerned, the first thing that is to be said about the human being is this: the human being is a person, a subject,’’[5] demikian pemikiran Karl Rahner mengenai anthroposentrisme di dalam teologi. Pengalaman akan Allah menjadi bagian tak terpisahkan dengan pengalaman akan diri manusia tersebut, oleh karena itu pengalaman akan Allah itu eksistensial dan tidak dapat diseragamkan secara kaku, apa lagi dipaksakan melalui perantaraan tangan-tangan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan kepada manusia, atas alasan apapun, termasuk alasan “kehendak Tuhan”, patut untuk ditentang. “Allah adalah kasih,” demikian Santo Yohanes penginjil menyimpulkan pengalaman imannya akan Allah. “Barang siapa tidak mengasihi, dia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih,” (1Yoh 4:8). Penghargaan atas kemanusiaan itu justru lahir dari pengalaman akan Yang Transenden.
Atmosfer Konsili Vatikan II adalah atmosfer dialog dengan siapapun di dunia ini. Dialog ini bukan apa-apa kecuali bahwa ajakan untuk membangun suatu dunia yang baru, tempat di mana kita tinggal bersama-sama. Gereja tidak lagi mewartakan Kristus dalam artian Kristenisasi (datang untuk membaptis), tetapi ingin menegakkan kembali martabat manusia justru oleh karena perjumpaannya dengan Kristus. Mewartakan Kristus ke dunia tidak lagi sama artinya dengan membaptis sebanyak mungkin orang, tetapi justru mengabarkan suka cita, damai sejahtera, dan menyebarkan cinta. Gereja ingin mengajak kita semua untuk menjunjung tinggi martabat manusia dan menciptakan kehidupan yang indah, sebuah dunia baru, justru oleh karena imannya akan Allah. Sebagai orang yang beriman akan Allah, kita menampakkan wajah lembut dan maharahim Allah untuk melawan kekerasan.
Love Thy Neighbor
Wajah lembut yang kita tampakkan itu bukannya wajah lemah yang dapat diinjak kalah. Kita berani bersuara dan berani melawan tangan-tangan kekerasan itu justru karena benar, justru karena kita menjunjung tinggi martabat manusia. Yesus tidak hanya mengajarkan “jika ditampar pipi kananmu, berikan pipi kirimu,” (Mat 5:39), tetapi juga “Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?” (Yoh 18:23). Kita takut ketika kita salah. Namun, kita berani karena benar. Kebenaran apa yang kita klaim sehingga kita memiliki keberanian itu? Martabat manusia. Kita tegas menjunjung tinggi dan membela martabat manusia, bahkan berani melawan kekerasan itu karena kita memiliki pengalaman eksistensial akan kasih Allah, Sang Hidup. Kita harus kritis, wajah kekerasan yang ditampakkan itu, kekerasan yang seakan-akan kehendak Tuhan itu, kekerasan yang dilakukan di dalam nama Allah itu, jangan-jangan hanya merupakan legitimasi tangan-tangan kekerasan semata untuk menyalurkan kebencian dan ketidakmampuan mereka menerima penampakan wajah “yang lain”.
Kita, orang-orang Kristiani, menjadi saksi Kristus, tidak lagi dengan misi Kristenisasi, yaitu membaptis sebanyak mungkin orang, tetapi dengan menjadi garda depan pembela martabat manusia. Kita percaya Roh Kudus Allah berkarya di setiap hati manusia, apapun agamanya. Sentuhan Roh Kudus ini membawa setiap manusia kepada pengalaman akan Allah. Dan, pengalaman akan Allah yang sejati ini membuat kita berani membela kemanusiaan. Maka, bersama umat beriman lain, bahkan bersama mereka yang mengaku tidak beriman, kita lawan kekerasan di tanah air tercinta ini, dengan menampakkan wajah lembut sekaligus tegas, ramah sekaligus kritis. Kebencian tidak dilawan dengan kebencian, kebencian juga tidak dilawan dengan rasa takut, tetapi dilawan dengan cinta. Cinta membuat kita berani. Dan, Allah adalah cinta.
Yohanes 18:23
Daftar Pustaka
Haryatmoko, 2010, DOMINASI PENUH MUSLIHAT, Jakarta: Gramedia
Losinger, Anton, 2000, THE ANTHROPOLOGICAL TURN, The Human Orientation of The Theology of Karl Rahner, translated by Daniel O. Dahlstorm, New York, Fordham University Press
Manji, Irshad, 2012, ALLAH, LIBERTY, & LOVE, terjemahan Meithya Rose Prasetya, Jakarta: Rene Book


[1] Irshad Manji, ALLAH, LIBERTY, & LOVE, terjemahan Meithya Rose Prasetya, Jakarta: Rene Book, 2012
[2] Irshad Manji, ALLAH, LIBERTY, & LOVE, 10
[3] Haryatmoko, DOMINASI PENUH MUSLIHAT, Jakarta: Gramedia, 2010, 81
[4] Haryatmoko, DOMINASI PENUH MUSLIHAT, Jakarta: Gramedia, 2010, 82
[5] Anton Losinger, THE ANTHROPOLOGICAL TURN, The Human Orientation of The Theology of Karl Rahner, translated by Daniel O. Dahlstorm, New York, Fordham University Press, 2000,  27

Comments