KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

PEREGRINATIO 1500 KILOMETER

PEREGRINATIO 1500 KILOMETER

KEBERANGKATAN
Selasa, 25 Juni 2013, aku memutuskan untuk melakukan sebuah peregrinatio, sebuah perjalanan. Tidak benar-benar “berjalan” memang, aku mengendarai sepeda motor. Filsuf sekaligus penyair di atas sepeda motor, sebuah perpaduan yang manis, bukan? Perjalanan kali ini bukan hanya merupakan perjalanan merebut kembali cintaku dari Kota Batavia. Memang tujuanku adalah Kota Batavia, di mana kekasih hatiku mencari sesuap nasi. Perjalanan kali ini dilandasi sebuah renungan teologis yang aku dan teman-teman Saint Paul Touring Community (OMK Paroki St. Paulus Kleco) dapatkan di dalam perjalanan-perjalanan touring kami, yaitu Teologi Ngaspal - Teologi Keselamatan Bersama. Setiap peziarah (pengguna jalan) adalah saudara, karena mereka menghadapi resiko kematian yang sama. Maka, kita mengusahakan keselamatan diri sendiri, rekan satu rombongan, dan pengguna jalan yang lain. Orang-orang yang belum pernah menempuh perjalanan lebih dari 300 kilometer sehari pasti bingung akan hal ini, apa lagi mereka yang hanya berjalan-jalan di dalam kota (naik mobil). Tetapi, mereka yang pernah berjalan kaki, mengendarai sepeda, atau mengendarai sepeda motor lebih dari 300 kilometer sehari ke lain daerah pasti pernah mengalami saat-saat perjumpaan dengan orang lain sesama peziarah (baca: pengguna jalan). Saat-saat perjumpaan inilah yang menantang kemanusiaan kita sekaligus menyadarkan kita bahwa kita tidak sendiri, bahwa keselamatan itu bisa kita usahakan bersama dilandasi rasa senasib-sepenanggungan.
Seorang lelaki harus menempuh sebuah perjalanan untuk bertemu Tuhannya dan mengetahui panggilan hidupnya. Terkadang lelaki harus menempuh lebih dari satu perjalanan untuk itu. Hal inilah yang sering tidak dimengerti oleh perempuan. Sebagai lelaki aku pun menempuh peregrinatio ini. Aku ingin bertemu Tuhan lewat perjumpaan dengan sesama dan tentu alam Indonesia. Aku hendak menghayati Teologi Ngaspal - Teologi Keselamatan Bersama itu, apakah dapat difalsifikasi oleh pengalaman eksistensialku atau justru diafirmasi. Kalaupun dapat diafirmasi, sejauh apa Teologi Ngaspal - Teologi Keselamatan Bersama itu dapat diterapkan di dalam dimensi kehidupan yang lain, selain touring tentunya.
Selasa malam itu aku berangkat. Awalnya aku berencana berangkat Senin malam. Akan tetapi, Senin malam itu adalah Malam Selasa Kliwon. Aku paham, Yesus Kristus yang disalib telah menebus pula seluruh hari sehingga semua hari adalah hari baik di dalam perspektif Katolik. Akan tetapi, aku adalah seorang Jawa. Aku tetap harus menghormati Kejawaanku itu. Bagi seorang Jawa, Malam Selasa Kliwon dan Malam Jumat Kliwon adalah hari untuk mengundurkan diri dan merenung serta berdoa. Seperti halnya Jumat tengah hari bagi seorang Muslim dan hari Minggu bagi seorang Kristiani. Sebuah saat untuk retreat, mengundurkan diri dari hiruk pikuk dunia, dan manunggal dengan Gusti. Lagi pula, ilmu pengetahuan alam pun telah membuktikan bahwa pada momentum-momentum tertentu tata surya berformasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan energi-energi tertentu, yang baik jika kita duduk dalam hening untuk berkolaborasi dengan gerak alam tersebut. Kita, manusia, bukan di luar alam, tetapi adalah bagian dari alam.
Maka, aku memutuskan untuk berangkat Selasa malam. Perjumpaan pertamaku adalah di sebuah warung HIK di Semarang. Jalan begitu macet di sana. Padahal hari telah larut. Pasti ada kecelakaan, pikirku. Sembari menanti macet terurai, aku duduk ngopi dan makan sega kucing.
Sampun dangu macetipun, Pak?” tanyaku.
Mpun, Mas, mpun awit jam wolu wau.
Wonten napa?
Wonten truck, mboten kiat minggah.
Oalah... .
Lha niki njenengan saking pundi, badhe ten pundi?
Saking Sala... badhe ten Jakarta?
Piyambak?
Inggih.
Tidak selang lama, ada seorang laki-laki mendekati kami.
Nuwun sewu, badhe tanglet,” tanyanya
Nggih, Mas?
Ingkang gadhah Vario ten mrika niku pundi nggih?
Kami yang ada di HIK itu saling bertanya-tanya. Tidak ada satu pun dari kami yang mengetahuinya.
Lha dos pundi ta, Mas?” tanyaku.
Lha niki kula dipun-sms, rencang kula ingkang nitih Vario punika ngendikanipun kecelakaan.
Wela... ,” aku terdiam.
Kecelakaan. Kamu tahu apa yang ada di dalam benakku mendengar kata “kecelakaan” tersebut? Ada truck yang tidak kuat naik. Ada macet. Dan, ada pengemudi Vario yang mengalami kecelakaan. Kami semua yang ada di warung HIK itu pun terdiam.
Nggih pun, Mas. Mbok menawi mpun ten Rumah Sakit.
Lelaki itu pun berjalan bersama temannya menuju Vario yang dimaksud, menelepon seseorang, mewartakan apa yang baru saja ditemukannya, lalu membawa Vario itu pergi.
Pukul 24.00. Masih macet. Aku tidak bisa menanti lebih lama. Setelah membayar apa yang kukonsumsi, aku pamit, dan melanjutkan perjalanan ini.
Lepas dari Semarang dan Kendal, aku memasuki Alas Roban bersama rombongan truck. Banyak begal dan bajing loncat katanya. Namun, malam itu hanya ada hutan, gelap malam yang terkoyak lampu motor, dan truck-truck yang mengerang menanjak. Aku menikmati perjalanan ini. Paus Fransiskus mengatakan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan. Maka, menikmati perjalanan ini, bagiku sama dengan menikmati hidup. Dan, di situlah letak kebahagiaan itu. Menikmati. Merayakan setiap momentumnya.
Brebes. Haus. Ingin kencing. Aku berhenti di sebuah SPBU. Aku beristirahat agak lama di sana. Kencing. Minum air putih sepuasnya. Jika kamu melakukan sebuah perjalanan, dengan apapun kamu melakukannya, jangan pernah lupa membawa air putih. Bawalah sebanyak yang kamu bisa bawa. Tidak ada yang lebih menyegarkan dari pada air putih, es teh pun tidak.
Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 03.30. Saatnya adzan subuh. Di SPBU itu banyak peziarah lain yang tengah beristirahat. Ibaratnya padang gurun, SPBU itu adalah oasis bagi para kafilah. Kita mengisi bahan bakar, menambah angin, mengisi air radiator, istirahat, tidur, kencing, makan, minum di SPBU (tetap dilarang merokok dan mengaktifkan ponsel di sana jika tak ingin membuat kembang api raksasa). Di SPBU itu aku disapa sebuah rombongan yang juga tengah beristirahat. Rombongan itu terdiri dari bapak, ibu, seorang anak lelaki, seorang anak lelaki menantu, anak-anak gadis, dan seorang kakek. Mereka naik mobil dari Jawa Timur. Logat mereka logat Madura. Bahasa Daerah mereka tidak kukenal, mungkin Bahasa Madura. Mereka tertarik dengan pakaianku: helm full-face, jaket kulit tebal, sarung tangan kulit, celana kargo, pelindung lutut dan tulang kering, dan safety-shoes. Kami lekas akrab. Sang bapak ternyata adalah seorang guru geografi. Anak lelaki mereka seusiaku, kurang lebih 25 tahun. Sedangkan anak perempuan mereka tengah skripsi. Aku pun bercerita bahwa aku dari Solo, hendak mengunjungi tunangan di Jakarta. Sedangkan mereka tengah beristirahat setelah melakukan perjalanan non-stop. Mereka hendak menuju Cirebon, ke rumah besan. Sang kakek pun bergabung. Dari pakaiannya, kakek itu seorang muslim. Dan, memang benar, mereka tengah menanti adzan subuh, hendak shalat subuh, sebelum melanjutkan perjalanan.
“Mumpung masih muda, ya... ,” kata kakek itu.
“Iya,” jawabku.
“Sudah menikah?” tanya kakek itu.
“Belum, Kek. Tapi sudah bertunangan.”
“Menikah memang belum. Tapi kawin, sudah, bukan?”
Hahahahahahaha... kami tertawa bersama-sama. Sialan kakek itu. Suka bercanda rupanya.
“Hahahaha... bercanda. Kalau tidak begitu, kita tidak akan akrab, kan?”
“Iya, Kek... . Hahahahaha... .”
Kami tidak saling mengenal sebelumnya. Hanya sama-sama beristirahat di SPBU. Rombongan itu hendak melaksanakan shalat subuh. Sedangkan aku hanya sekadar beristirahat sejenak minum air. Sebuah perjumpaan wajah-bertemu-wajah dengan liyan yang singkat tetapi sangat membekas. Tentu mereka adalah liyan yang berbeda bagiku. Mereka seorang Muslim dengan logat Madura. Sedangkan aku seorang Katolik. Tapi, melampaui segala perbedaan itu, kami adalah sama-sama peziarah yang beristirahat. Kami sama-sama melakukan perjumpaan wajah-dengan-wajah, tanpa tendensi, tanpa judgment, tanpa mempersoalkan atribut yang kami pakai, kakek itu dengan baju muslimnya dan aku dengan riding-gear.
Sebelum rombongan itu melaksanakan shalat subuh, aku pamit, melanjutkan perjalanan. Targetku, sebelum matahari merekah, aku sudah keluar dari Kota Cirebon. Cirebon sendiri pun merupakan kota yang mengejutkan. Kota yang menjadi bagian dari Jawa Barat ini ternyata masih Berbahasa Jawa, tentu dengan logatnya yang khas.
Keluar dari Kota Cirebon, matahari mulai merekah, mengganti bulan pascapurnama yang semalaman menemani perjalananku. I was heading west, while the sun was right behind my head. That was an awesome feeling! Seems that I was running after my own shadow. But, I was sure that would not darkness wait for me, but love. And, that is precisely what hope is. Apa yang membuat kita bersemangat melakukan sebuah perjalanan? Harapan. We hope that we will arrive to the place where we belong. Sebuah tempat di mana kita merasa at home, diterima, dan dicintai. Orang beriman menyebut tempat semacam itu sebagai surga. Akan tetapi, alih-alih mereka menciptakan tempat dan suasana semacam itu di sini dan kini, mereka berharap sampai di tempat dan suasana semacam itu pasca-kematian mereka. Mengapa kita tidak menciptakan tempat dan suasana di mana kita merasa at home, diterima, dan dicintai di sini dan kini? Mengapa kita tidak menghadirkan Kerajaan Allah di sini dan kini? Di bumi seperti di surga? Keselamatan itu tidak melulu perihal pasca-kematian di sana dan kelak, tetapi justru terdapat di dalam hal-hal yang remeh temeh, seperti ketika kita bersama-sama berkendara di jalan, atau berkeluarga, atau sekadar berpacaran.
Hidup adalah sebuah perjalanan, kata Paus Fransiskus. Aku mengamini. Kita melakukan perjalanan dengan bersemangat karena kita memiliki harapan. Kita memiliki harapan karena ada cinta di sana. Cinta itulah yang membuat kita menikmati perjalanan dan mengusahakan keselamatan selama di dalam perjalanan. Dan, rasa hormat kepada kehidupan membuat kita tidak hanya mengusahakan keselamatan pribadi, tetapi juga keselamatan liyan. Musuh dari semua itu adalah egoisme dan keangkuhan. Siapa pula yang sudi melihat wajah yang angkuh?
Kesan terakhirku akan Jakarta adalah sebuah kota yang angkuh. Teologi Ngaspal - Teologi Keselamatan Bersama  mungkin takkan sanggup berpraksis di jalanan Kota Jakarta. Orang-orang di sana seakan-akan tengah berlomba pada sebuah perlombaan yang hanya bisa diakhiri oleh kecelakaan dan kematian. Dan, mataku terlalu berat untuk menghadapi “keramahan” Kota Jakarta. Aku memutuskan untuk beristirahat di Bekasi. Makan dua bungkus roti isi. Minum sekotak susu. Lalu tidur. 30 menit memejamkan mata telah membuatku siap bertemu wajah dengan penduduk Kota Angkuh tersebut.

SAPAAN
Tatap muka pertamaku dengan penduduk Kota Angkuh itu adalah dengan seorang satpam sebuah SPBU. Sama ketika aku masuk di SPBU-SPBU lain, aku ke SPBU tidak melulu untuk mengisi bahan bakar. Aku memarkir sepeda motor, istirahat. Aku terhenyak, harga Pertamax di Jakarta lebih murah dari pada di Surakarta. Di Jakarta, harga Pertamax 92 Rp 9.100,00, bersaing dengan harga Shell Super 92 Rp 9.150,00. Sedangkan di Surakarta, di mana Shell tidak menjual bahan bakarnya, harga Pertamax 92 Rp 9.700,00. Bahan bakar tak bersubsidi ini ternyata memakai harga pasar, sama seperti harga bahan bakar di US yang selalu berbeda di tempat pengisian bahan bakar berbeda. Sumber energi selalu menjadi alasan bagi manusia untuk bersaing... bahkan hingga berperang.
Ngomong-ngomong soal energi, aku haus. Aku membayangkan dapat minum segelas es teh. Tetapi, hanya ada restaurant. Es teh dalam kemasan pun baik. Aku haus. Di dalam SPBU itu ada minimarket. Di samping SPBU itu pun ada minimarket waralaba yang terkenal itu. Kupikir, harga minuman kemasan di minimarket SPBU akan sedikit lebih mahal dari pada yang di minimarket waralaba itu. Di sebuah SPBU Bekasi, aku harus membayar sedikit lebih mahal untuk dua bungkus roti isi dan sekotak susu. Kuputuskan untuk melangkahkan kaki menuju minimarket waralaba yang terletak di luar komplek SPBU itu. Belum juga aku keluar, seorang satpam meneriaki. Aku tidak tengah merokok atau mengaktifkan ponsel di sana. Ada apa?
“Masnya yang markir motor di sana?” tanya satpam itu dengan nada yang tidak bersahabat.
“Iya. Ada apa?”
“Mau ke mana?”
“Mau cari minum. Saya haus. Nanti saya akan kembali ke sini, saya mau ke toilet.”
“Lain kali bilang. Ini bukan tanah kosong,” katanya sembari berlalu.
You don’t say,” gerutuku dalam hati.
Ya, mungkin ada benarnya apa yang dikatakan satpam itu. Dia bertanggung jawab atas segala keamanan SPBU tersebut. Dia pasti tak ingin terjadi berita kehilangan di wilayah yang dia jaga. Akan tetapi, nada yang dia pergunakan untuk memperingatkan itu yang membuatku semakin resist terhadap semua yang berbau Jakarta.

PERAYAAN CINTA
Satu hal yang dapat memaksaku untuk pergi ke Batavia adalah kenyataan bahwa kekasihku ngupaya upa di sana. Kenyataan ini sebenarnya cukup pahit. Di mana pun, asal jangan Batavia. Akan tetapi, prinsip kemerdekaan yang kuhayati sebagai seorang eksistensialis membuatku sedikit banyak mampu memahami keadaan itu. Sebagai seorang eksistensialis, kesadaran-budi menjadi pendasaran moral. Oleh karena kesadaran-budi adalah dasar dari segala moralitas, aku pun secara bebas patuh kepada imperatif kategoris (the golden rule). Aku tidak melakukan apa yang aku ingin orang lain tidak lakukan. Atau secara positif, aku melakukan apa yang aku ingin orang lain lakukan. Aku bebas menjadi apa yang aku mau. Aku menghendaki kebebasanku itu. Maka, aku pun menghendaki orang lain bebas menjadi apa yang dia inginkan.
Aku mencintai kekasihku. Akan tetapi, aku tidak bisa memaksa dia menjadi apa yang kuinginkan. Jika demikian, aku hanya akan mencintai bayanganku sendiri, bukan mencintai kekasihku itu as she is. Memang, sebagai seorang eksistensialis, I am who am not. Aku bisa selalu menidaki diri. Akan tetapi, aku tidak bisa secara absolut menidaki orang lain. Aku tidak bisa menidaki kekasihku, bahwa dia tidak boleh bekerja di Jakarta. Jika demikian, aku telah melanggar imperatif kategoris itu. Aku menjadi pribadi yang egois, diktator, dan mengingkari kemerdekaan yang kuagungkan itu. Mencintai tidak sama dengan memaksa. Mencintai itu adalah sebuah tawaran. Dan, cinta itu pun memerlukan rasa hormat. Ketika kekasihku menjadi who she is, dan bukan who I want her to be, aku telah mencintai sekaligus menghormati dirinya, dan bukan bayang-bayang diriku yang aku tempatkan pada dirinya.
Kami memerlukan dialog di sini untuk menjembatani segenap perbedaan kami. Dan, tepat itulah yang kita semua butuhkan. Perjumpaan tatap muka. Dialog. Dan rasa hormat. Sebelum, akhirnya kita membicarakan cinta.
Aku bersyukur atas intimasi kami. Bagiku, “ya” dari aku dan dari kekasihku sudah cukup tanpa perlu disaksikan Gereja dan dua orang saksi. Akan tetapi, sekali lagi, rasa hormat. Rasa hormatku terhadap iman Katolik yang dia anut membuatku mampu bersabar menanti “ya” itu kami ucapkan kembali di depan altar, dihadapan Gereja dan dua orang saksi. Dan, memang, bukan Gereja yang menikahkan kami, tetapi kamilah yang saling menerimakan sakramen pernikahan itu secara licit, valid, dan kemudian secara ratum et consumatum.
Cinta yang terpancar lewat senyum wajahnya membuatku melupakan kejengkelan terhadap Batavia.

Mungkin terlalu dini aku men-judge Kota Batavia. Maka, kuputuskan untuk melihat Batavia dari sudut pandang para penduduknya. Tidak adil ketika kita terlalu terburu-buru menilai seseorang tanpa terlebih dahulu kita memahami kehidupan macam apa yang dijalaninya. Selama beberapa hari tinggal di Jakarta aku mengantar dan menjemput kekasihku bekerja. Sebenarnya aku tinggal di Tangerang. Jarak Jakarta-Tangerang kurang lebih sama dengan jarak Solo-Jogja. Begitulah kebanyakan penduduk di sana. Rumah mereka ada di Jakarta pinggiran, di Tangerang, Depok, Bekasi, atau bahkan di Bogor, sedangkan tempat kerja mereka berada di Kota Jakarta. Sehingga kita bisa membayangkan ribuan orang nglaju kurang lebih 40-60an kilometer pergi-pulang setiap hari. Dua jam pertama hari mereka dihabiskan di jalan!
Aku bangun pagi. Pukul 05.00 aku sudah harus mandi. Pukul 05.30 aku sudah harus memanasi mesin motor, lalu kami berangkat mengejar matahari. Masih gelap. Langit masih berwarna biru tua. Mungkin matahari selalu terlambat di sana. Sampai di jalan utama, aku melaju dengan kencang supaya kekasihku tidak terlambat kerja. Kami berdesak-desakan dengan mobil, bus, truck, dan ribuan sepeda motor lain yang juga melaju dengan kencang. Bayangkan kendaraan sebanyak itu sama-sama melaju di jalan 4 lajur menuju Jakarta. Apa yang terjadi ketika rantai motormu lepas di tengah-tengah situasi semacam itu? Atau rodamu meletus? Atau mesinmu tiba-tiba mati oleh karena masalah kelistrikan? Atau kamu tergelincir oleh karena jalan yang basah sisa hujan semalam?
Semua orang pagi itu mengejar matahari! Semua orang mengejar waktu agar tidak terlambat masuk kerja setiap hari! Tidak ada waktu untuk bersantai menikmati kopi pagi. Semua orang tergesa-gesa, bergegas, melaju. Ketika kendaraan lain di depan sedikit memelankan laju, alunan paduan suara klakson pun menjadi musik yang menggantikan kicau burung. Kemudian... macet.
Macet membuat semua orang panik. Melirik jam. Berdoa, “Semoga aku tidak terlambat pagi ini.” Atau, malah mengumpat, “Anjing, Lo! Buruan! Jangan berhenti di situ. Minggir!” Lalu alunan klakson semakin gegap gempita. Semua orang mencari celah sempit supaya sampai di tujuan dengan segera. Semua orang saling sikut untuk mendapatkan celah sempit itu. Orang di sampingku adalah lawan dan saingan untuk mendapatkan celah sempit tersebut. Bahkan, mengambil hak orang lain menjadi halal demi mendapatkan celah sempit itu agar segera sampai di tujuan. Banyak pengendara motor merebut hak pejalan kaki dengan berkendara di trotoar dan jembatan penyeberangan. Juga tidak sedikit pengendara yang melanggar lampu merah, bahkan ketika angka merah itu masih menunjukkan waktu 50 detik lagi. Tidak ada teman. Tidak ada saudara seperjalanan. Aku tidak mengenal mereka! Mereka adalah lawan. Mereka adalah saingan untuk mendapatkan celah sempit supaya segera sampai tujuan.
“Aku tidak mengenal dia” menjadi alasan kita untuk mementingkan diri sendiri. Egois. Kita paham bahwa kata itu memiliki nilai negatif. Kita pun mengalami cognitive dissonance. Maka, kita mencari excuse untuk membenarkan hal itu. Dan, “aku tidak mengenal dia” menjadi excuse yang paling masuk akal di tengah kepanikan, ketergesa-gesaan, dan ritme yang demikian tinggi tersebut.
“Aku tidak mengenal dia” sebenarnya justru mengalihkan kesadaran kita pada kenyataan perjumpaan dengan liyan. Realitanya adalah bahwa kita bertemu dengan orang lain ketika kita tengah berada di jalan. Kita mungkin memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain tersebut, seperti misalnya ketika ada pengendara sepeda motor yang lupa menaikkan standar sepeda motornya, atau dengan pengamen yang membawakan lagu-lagu yang lain dari pada yang lain, atau dengan satpam, dan lain sebagainya. “Aku tidak mengenal dia” membuat orang lain menjadi semakin lain, asing, dan marjinal bagi kesadaran kita, sehingga kita enggan menyapa. Kita sebenarnya berjumpa, tetapi menegasi perjumpaan itu, entah dengan ketidakpedulian, entah dengan keengganan menyapa, atau bahkan justru dengan rasa takut kita akan sosok orang lain.
Konsep orang lain bergeser menjadi orang asing. Konsep orang asing ini menempatkan liyan menjadi “yang patut dicurigai”. Konsep orang asing ini berkembang seturut dengan semakin kompleksnya sistem masyarakat suatu kebudayaan. Orang-orang Jawa (dan mungkin juga orang-orang di seluruh Nusantara) dahulu kala memang memiliki konsep orang lain, tetapi hampir tidak memiliki konsep orang asing ini. Di depan rumah-rumah orang Jawa dahulu kala disediakan sekendi air minum bagi orang lain yang kebetulan berjalan melewati rumah mereka. Para peziarah itu bisa meminum air dari kendi itu. Meskipun mereka orang lain, mereka bukan orang asing yang patut dicurigai. Jikapun orang-orang itu bertemu dengan orang lain di jalan, mereka akan saling menyapa dengan sapaan “mangga”, “ndherek langkung”, atau sekadar senyum. Hal-hal tersebut masih diwarisi oleh orang-orang desa. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya sebuah kebudayaan, semakin kompleks pula sistem masyarakatnya, semakin orang bertemu dengan banyak orang lain. Orang tidak hanya bertemu dengan orang lain, tetapi orang lain yang benar-benar lain, bahkan asing. Orang asing ini tidak jarang datang dengan maksud jahat, memonopoli, menguasai, mengambil milik kita, bahkan membunuh. Orang menjadi tidak bisa begitu saja ramah terhadap orang asing, karena bisa saja orang asing ini memiliki niat jahat. Orang menjadi kehilangan kepercayaan bahwa ada hal yang baik pada diri orang. Semua orang menjadi asing, menjadi patut dicurigai, menjadi memiliki potensi berbuat jahat. Pernah kamu mendengar sebuah nasehat bahwa kamu harus menanamkan konsep orang asing kepada anak-anakmu supaya mereka aman dari perbuatan jahat, misalnya diculik? Anak-anak tidak membutuhkan saling mengenal untuk secara spontan berpelukan, bermain, dan tertawa bersama. Namun, kita, orang-orang dewasa inilah yang menanamkan kepada mereka konsep orang asing tersebut. Konsep itu mereka batinkan dan mereka bawa ketika dewasa, lalu termanifestasi di jalanan kota kita.
Muak dengan sikap para pengendara kendaraan bermotor tersebut, aku dan kekasihku pada suatu hari Minggu memutuskan untuk berjalan kaki dan memanfaatkan transportasi umum yang ada. Berjalan kaki di Jakarta berarti menempatkan dirimu pada kelas sosial terbawah di jalan raya. Trotoar dan jembatan penyeberangan yang menjadi hakmu sering kali direnggut oleh pengendara sepeda motor. Bahkan, kamu dapat kehilangan nyawamu dengan seketika di trotoar! Ingat kasus Afriani yang menewaskan 9 pedestrian sekaligus? Lalu, pelican crossing yang disediakan itu pun tak efektif. Berapa pengemudi yang rela berhenti ketika lampu pelican crossing menyala merah sehingga para pedestrian dapat menyeberang? Aku sendiri hampir ditabrak bajaj biru ketika menyeberang di pelican crossing sewaktu semua mobil pribadi dan bus telah berhenti demi melihat lampu merah itu. Sebagai pejalan kaki, aku ingin menuntut hak-hakku! Imperatif kategoris (the golden rule), ketika aku berada di atas sepeda motor, aku pun tidak merebut hak para pedestrian, sebab pasti mereka menginginkan hak-hak sebagai pejalan kaki.
Hari Minggu itu kekasihku libur. Kami hendak ke Gereja. Eksistensialisme percaya bahwa individu itu bebas. Kami, para eksistensialis, menolak determinasi, baik determinasi ilahi, determinasi psikologis, maupun determinasi sosiologis. Lebih jauh, aku percaya bahwa kebebasan individu itu oleh karena kesadaran. Manusia itu kebebasan. Kebebasan itulah manusia. Semakin manusia memperdalam kesadaran, semakin dia mengafirmasi kebebasannya tersebut. Memang benar bahwa keadaan alam, emosi, psikologi, dan keadaan sosial (keluarga - lingkungan - masyarakat) memiliki pengaruh. Akan tetapi, manusia memiliki kebebasan untuk mengikuti pengaruh hal-hal tersebut atau tidak. Keputusan terakhir selalu berada di tangan individu yang bersangkutan. Itulah mengapa, semakin orang memiliki kesadaran, semakin dia mampu memilih keputusan secara bebas dan bertanggung jawab. Dengan demikian, bukan berarti orang yang memutuskan melakukan sesuatu tanpa kesadaran dapat lepas dari tanggung jawab. Orang yang melempar tanggung jawab dan menyalah-nyalahkan orang lain atas apa yang diperbuatnya adalah orang yang mengingkari kebebasannya, atau dengan kata yang lebih sederhana, dia adalah orang yang tidak dewasa. Dengan kepercayaan semacam inilah aku menghayati peregrinatio-ku di Jakarta. Keadaan sosial dan lingkungan masyarakat yang begitu ruwet hampir-hampir membuat aku putus asa, depresi, dan ingin marah. Secara sederhana, aku hampir-hampir kehilangan senyumku. Ingin rasanya memaki semua orang yang aku jumpai di Jakarta. Akan tetapi, jika demikian, bukankah aku mengingkari kemerdekaanku? Para penganut Buddha memiliki terminologi tersendiri akan hal ini, inner-peace. Para penganut Buddha dapat dengan bebas berdoa dan bermeditasi di Borobudur di saat candi itu dipenuhi hiruk-pikuk wisatawan yang asyik mengambil foto, tertawa, bercerita, atau semata mengagumi candi peninggalan kebudayaan Jawa Kuno tersebut. Aku dan kekasihku pun banyak berdiskusi tentang hal itu, apa lagi khotbah di Gereja pada hari Minggu itu adalah soal kemerdekaan di dalam Kristus yang diserukan oleh Paulus (Gal 5:1.13-18).
Aku membayangkan pastilah orang-orang Katolik yang hadir di sini adalah orang-orang yang bebas, orang-orang yang tidak terpengaruh dengan situasi sosial-masyarakat Jakarta. Namun, bayanganku itu terlalu muluk, bahkan bisa dikatakan naif. Keadaan sosial di Jakarta memiliki pengaruh yang begitu kuat. Sistem masyarakatnya ibarat gurita yang telah mencengkeram erat setiap individu yang hidup di sana. Jika selama ini teman-teman kiri memperolok televisi sebagai kotak brain-washing, seharusnya mereka pun memperolok jalanan-jalanan kota sebagai jaringan-jaringan brain-washing tersebut. Sikut-sikutan yang aku saksikan dan alami di jalanan Jakarta serta social-class-clash yang begitu mencolok di sana, kembali aku saksikan dan alami dengan begitu lembut di Gereja Katolik itu. Begitu lembut, hingga hampir-hampir kita tidak menyadarinya, mungkin karena sudah terbiasa. Kamu tahu apa yang aku saksikan? Orang-orang Katolik itu berebut antrian menerima hosti! Atau mungkin aku yang ndesa? Orang yang duduk di depan seharusnya mendapatkan antrian paling depan, lalu urut ke belakang hingga akhir. Itu yang aku alami di parokiku dan di paroki-paroki lain di mana sikut-sikutan-di-jalan tidak begitu terang-terangan. Yang aku alami pada hari Minggu itu begitu mencengangkan! Semua orang segera berdiri untuk mendapatkan posisi terdepan, hingga aku dan kekasihku yang duduk di deretan tengah kebingungan sampai di mana gilirannya.
Mengakhiri kehadiranku pada perayaan ekaristi di sana, aku berdoa semoga aku menyaksikan suatu peristiwa di Jakarta di mana “faith in humanity can be restored”.
Kami pulang ke Tangerang ketika senja sudah tiba. Kami menanti bus yang dapat membawa kami kembali pulang. Dari pinggir jalan aku menyaksikan seorang bocah yang jongkok di jalur busway. TransJakarta atau bus umum atau kendaraan pribadi (yang biasanya mengambil jalur busway sekadar untuk menghindari macet dan bisa mengebut) dapat dengan mudah melindas bocah itu. Dari pakaian compang-campingnya, pasti dia anak (yang disewa oleh) seorang pengamen atau pengemis. Tapi di mana ibunya? Aku tidak melihat seorang pengamen atau pengemis pun di sana. Anak itu jongkok dan bermain tanah, tidak menyadari bahaya yang bisa dengan mudah melumat tubuh mungilnya. Ternyata, anak itu sedang berak. Aku menyadarinya ketika melihat ternyata dia tidak mengenakan celana, dan ada tinja keluar lalu tergeletak begitu saja di jalur busway itu. Dari kejauhan aku melihat sebuah bus. Semua yang bisa kulakukan hanya berteriak. Kuteriaki anak itu untuk minggir. “Dik, minggir! Jangan di sana. Awas, ada bus! Ada bus!” Sial! Anak itu sepertinya tidak memahami apa yang aku katakan. Dia tidak paham Bahasa Indonesia? Atau, retardasi mental? Sembari berteriak aku menunjuk bus yang, untungnya, melaju perlahan. Melihat bus itu, anak itu berdiri, lalu pindah ke jalur busway yang lain, jongkok kembali, melanjutkan beraknya.
Lalu entah dari mana seorang perempuan dengan pakaian compang-camping muncul sembari menggendong seorang balita. Perempuan itu menghampiri anak tadi. Ibunyakah? Kakaknyakah? Setidaknya mereka memiliki hubungan. Perempuan itu berkata sesuatu. Anak itu pun berdiri, lalu jongkok di tengah-tengah separator jalan, dan kembali berak. Memastikan bocah itu aman, perempuan tadi kembali pergi, entah ke mana, mungkin untuk mengemis, atau mengamen, atau bersembunyi mengamati bocah kecil tersebut. Aku tidak tahu pasti. Aku terlalu takut untuk memastikan! Bahkan, aku terlalu takut untuk mendekat kepada bocah itu untuk mengamankannya dengan tanganku sendiri. Aku benar-benar ketakutan di hutan beton itu! Begitu asing. Seakan-akan semua orang di sana memiliki potensi untuk berbuat jahat terhadap aku dan kekasihku. Aku menjadi begitu protektif, menaruh curiga kepada yang lain, dan bahkan antipati. Inikah yang terjadi kepada semua orang yang ada di Jakarta?
Mengetahui bocah itu memiliki orang tua yang “menjaga” bocah itu dari kejauhan, aku mengajak kekasihku beranjak dari sana, menanti bus di tempat yang lain. Sebenarnya hatiku hancur. Kekasihku tidak mengetahuinya. Aku pun belum bercerita kepadanya. Aku ingin segera pergi dari sana, naik bus, dan pulang, supaya hatiku tidak semakin hancur.
Bus yang kami nanti tiba. Hari Minggu adalah hari di mana banyak orang berpergian tetapi sedikit armada bus yang dioperasikan. Jadi, bisa kamu bayangkan betapa sesak bus yang kami naiki itu. Hampir tidak ada tempat. Kekasihku dapat berdiri di dalam. Sedangkan aku bergelantungan di pintu belakang bersama seorang lelaki dan dua anak punk. Ketika ada calon penumpang lain hendak naik, dan bus memperlambat laju untuk menaikkan orang itu, kami semua yang bergelantungan di pintu berteriak, “Penuh! Penuh! Terus! Jangan berhenti! Bus telah penuh!”
Anak-anak punk itu berbincang-bincang satu sama lain bahwa baik jika mereka turun dari bus dan naik angkot saja, sebab bus penuh dan sesak. Tak lama mereka pun turun ketika bus terjebak macet di sebuah lampu merah.
Bus mulai melaju dan masuk di jalur busway. Tindakan ini sebenarnya ilegal. Hanya TransJakarta, Trans-Jabodetabek, dan bus terintegrasi busway yang boleh memakai jalur itu. Tiba-tiba ada seseorang harus turun. Orang itu merangsek ke pintu belakang untuk turun. Namun, bus tidak bisa berhenti sebab tengah berada di jalur busway. Kernet yang bertugas pun tengah berdiri di pintu depan sehingga tidak mengetahui penumpang yang hendak turun ini. Dia berteriak “kiri”, tetapi bus tetap melaju. Dia memukul-mukul kaca pintu, bus tetap melaju. Semakin jauh dari tempat seharusnya dia turun. Lelaki yang bergelantungan bersamaku turut berteriak “kiri”, tetapi tidak cukup keras. Akhirnya, aku pun turut berteriak “kiri” dengan menggunakan teknik pernafasan perut. Sebagai aktor teater, kami sudah terbiasa bersuara dengan suara perut. Kualitas vokal yang dihasilkan lebih powerful dan keras. Apa lagi jika ditambah dengan “berteriak”. Kualitas vokal semacam itu akan indah dan menakjubkan di atas panggung teater. Akan tetapi, di tengah sesak bus antarkota yang melaju di jalur busway ketika ada seorang penumpang hendak turun, kualitas suara semacam itu bisa diterjemahkan orang sebagai kemarahan! Dan, benar, bus pun berhenti di tengah-tengah jalur busway, sedangkan penumpang-penumpang di sekitarku berkata, “Sabar, Mas... sabar. Jangan marah.”
Kekasihku yang telah lama mengenalku mengetahui dengan pasti bahwa aku tidak sedang marah. Dia paham memang begitulah ketika aku berteriak menggunakan pernafasan perut. Kesalahpahaman karena tidak saling mengenal. Hanya kekasihku yang mengetahui aku tidak marah, sedangkan penumpang yang lain mengira yang sebaliknya karena memang mereka tidak mengenalku. Dan, mungkin, kesalahpahaman yang sama yang aku alami ketika disapa oleh seorang satpam di SPBU di Jakarta itu. Mungkin memang demikianlah karakter orang Jakarta ketika berbicara. Mungkin memang seperti itu aksen bicara mereka. Jika bahasa (dalam arti luas: diksi, susunan kalimat, nada, intonasi, mimik, gesture, aksen, dll.) adalah manifestasi dari logika, dan jika logika itu berkembang juga di dalam pengaruh nature and nurture (meskipun tetap tidak menutup kemungkinan kebebasan kesadaran), kita menjadi lebih mudah memahami mengapa orang Jakarta memiliki aksen yang demikian, sebuah aksen yang ditelingaku, seorang Solo, terkesan arogan. Aku menjadi bisa menerima apa yang disampaikan satpam SPBU itu tanpa harus sakit hati mendengar aksen yang terkesan arogan. Kekasihku pun menjadi dapat menerima teriakanku di atas bus itu tanpa berpikir aku tengah marah walau kualitas suara yang dihasilkan terkesan aku tengah murka, karena dia mengenal dan memahami nurture-ku sebagai seorang aktor teater.

FAITH IN HUMANITY IS (ALMOST) RESTORED
Jokowi dan Ahok menjadi dwitunggal fenomenal yang perlahan namun pasti mengubah wajah angkuh Jakarta menjadi lebih manusiawi. Hutan beton dan gedung tinggi gemerlapan yang menyamarkan realita perkampungan kumuh dan distorsi kemanusiaan itu perlahan diubah menjadi kota yang memanusiakan penduduknya dan pengunjung sepertiku. Aku tidak perlu bercerita banyak di sini perihal praksis yang dilakukan oleh Jokowi dan Ahok. Sejarah Indonesia telah mencatat apa yang telah dilakukan oleh kedua orang itu. Alih-alih mengutuki kegelapan dan menyalah-nyalahkan orang lain atas kegelapan itu, mereka berusaha menyalakan lilin dan menyebarkan cahayanya. Satu hal yang mengagumkanku, ketika perayaan hari ulang tahun Jakarta, Jokowi ditanya oleh Deddy Corbuzier, jika ingin mengubah Jakarta, apa yang hendak diubah. Dan, Jokowi menjawab, “Masyarakatnya.” Penyakit kota tua itu telah diidentifikasi. Dan, duo dokter itu tengah bekerja menyembuhkannya, atau setidaknya membuatnya menjadi lebih baik. Apakah Jokowi hanya berteori? Jokowi-Ahok tengah berpraksis dan praksis mereka telah dicatat di dalam Sejarah Bangsa Indonesia! Kamu tinggal meng-google-nya atau bertanya kepada rakyat Indonesia.
Masih ada harapan. Kemanusiaan masih memiliki harapan! Kita masih bisa mengharapkan hal baik pada diri orang lain. Orang lain tidak melulu menjadi orang asing yang harus kita curigai. Orang lain bisa menjadi liyan yang juga rindu bertemu wajah dengan kita di dalam perjumpaan dan kehadiran. Harapan yang sama juga terdapat pada orang-orang Jakarta itu, walaupun masih sektarian.
Aku adalah seorang anggota HMPC (Honda MegaPro Club) Solo. Di Jakarta pun ada HMPC Chapter Jakarta. Sebagaimana klub-klub dan komunitas-komunitas motor, para anggotanya menjunjung tinggi semangat brotherhood, mirip seperti semangat fraternitas di dalam lingkungan ordo religius. Karena tujuanku adalah Jakarta, dan aku ke Jakarta mengendarai MegaPro, aku merasa perlu berkunjung ke HMPC Jakarta, walaupun aku sama sekali belum mengenal setiap individu anggota HMPC Jakarta. Walaupun itu hanya say hello singkat, setidaknya tetap ada silaturahmi di antara anggota HMPC Indonesia. Belum juga aku menghubungi mereka, mereka sudah terlebih dulu menghubungiku, bahkan ketika kami sama sekali belum pernah bertemu muka. Mungkin mereka mendapatkan nomor ponselku dari ketua HMPC Solo.
Bersama kekasihku, aku mampir di tempat kopdar (kopi darat) mereka. Sekali lagi jalanan kota Jakarta berhasil membuatku frustasi! Akan tetapi, begitu sampai di tempat kopdar itu, rasa frustasiku itu seakan sia-sia. Sekendi air putih yang selalu disediakan nenek moyang orang Nusantara di depan rumah itu ternyata diwarisi oleh anak-cucu mereka di dunia modern ini, walaupun di dalam lingkup yang jauh lebih sempit. Brothers, yang notabene benar-benar liyan bagiku, itu menyediakan “sekendi air putih” bagi pengelana sepertiku. Aku tahu, “sekendi air putih” itu disediakan kepadaku, yang notabene liyan bagi mereka, itu karena kami sama-sama anggota HMPC, atau setidaknya karena kami sama-sama biker. Tetapi, bukan itu intinya! Intinya adalah faith in humanity is (almost) restored. Realitanya adalah mereka orang-orang Jakarta, dengan segala pengalaman yang mungkin kurang lebih sama dengan yang aku ceritakan di atas. Akan tetapi, mereka memiliki keramahan yang tidak aku dapatkan ketika pertama kali menginjakkan kakiku di kota ini. Faith in humanity restored sejauh realita bahwa aku yang seorang asing bagi mereka ini dijamu layaknya orang yang sudah mereka kenal bertahun-tahun. Faith in humanity almost restored sejauh realita bahwa mereka menjamuku yang seorang asing bagi mereka itu, walaupun kami saling memanggil “brother”, karena aku anggota HMPC Solo. Bagaimana jika aku bukan anggota HMPC Solo? Sekali lagi, intinya adalah, kita masih memiliki harapan akan kemanusiaan. Walaupun sekarang ini kemanusiaan itu masih dihadirkan secara sektarian, kita boleh bermimpi bahwa pada suatu waktu nanti kemanusiaan itu kembali dihadirkan secara universal, melampaui atribut klub motor, suporter bola, suku, ras, agama, dan atribut-atribut lainnya.
Memang ada bahaya solidaritas yang sektarian tersebut. Banyak kejadian bentrok yang dahsyat oleh karena solidaritas sektarian tersebut. But, when we have faith in God, why don’t we have faith in humanity as God does? Mengapa kita tidak percaya bahwa manusia dapat berkembang seiring dengan perkembangan kesadarannya? Manusia telah melampaui kera dengan kecerdasannya. Manusia pasti dapat (kembali) melampaui manusia dengan mengembangkan kesadaran dan kasih (compassion). Hari ini mungkin anggota HMPC mentraktir kopi sesama anggota HMPC dari lain chapter, esok hari mungkin seorang asing memesan suspended coffee[1]  untuk seorang asing lain yang sama sekali tidak dikenalnya.
Perjumpaanku dengan saudara-saudara HMPC Chapter Jakarta melengkapi pengalamanku menghayati peristiwa Jakarta secara holistik. Selalu ada hal baik di dalam diri manusia, bahkan manusia yang lain dari kita, bahkan manusia Jakarta sekalipun.

KEHADIRAN DI DALAM SAKRAMEN
Aku tentu tidak akan mengulas “tujuh sakramen” yang ada di dalam Gereja Katolik. Aku pikir itu di luar kapasitasku. Lagi pula, aku hanya mendapatkan C di dalam mata kuliah Sakramentologi. Akan tetapi, aku akan menggunakan logika yang sama sebab disadari atau tidak, sebagai seseorang yang (masih) Katolik, dan mengafirmasi paradigma eksistensialisme Gabriel Marcel (yang juga seorang Katolik), logika itu ternyata telah mendarah daging padaku.
Orang-orang Katolik menerima tujuh sakramen[2], salah satunya berupa hosti ketika komuni. Wujudnya memang roti putih kecil tak beragi. Akan tetapi, bagi mereka roti, yang telah dikonsekrasi, itu adalah Tubuh Kristus. Mereka bukan hanya menerima sekadar roti semata, tetapi mereka percaya mereka menerima Tubuh Kristus sendiri. Kristus hadir di tengah-tengah mereka dalam rupa roti itu. Roti itu adalah sakramen, bahkan Sakramen Mahakudus! Dalam rupa sakramen-sakramen itulah Tuhan hadir. Baiklah, cukup di sini dulu. Aku tidak mahir membahasakan hal ini. Aku hanya mendapat C! Lagi pula, aku tak ingin menyesatkanmu. Silakan membaca buku-buku Martasudjita, Pr. untuk lebih jelasnya. Tapi, kita ambil logikanya, bahwa sakramen itulah kehadiran Allah. Kehadiran!
GabrielMarcel pernah mengatakan, kurang lebih, “Jika kamu mencintai seseorang, dia takkan pernah mati.” Apa maksudnya? Bukankah orang-orang yang kita cintai ada yang sudah mati atau pada suatu hari nanti akan mati? Maksudnya adalah, ketika kamu mencintai seseorang, orang yang kamu cintai itu akan tetap ada, tetap hadir di dalam setiap kenangan yang kamu miliki.
Kamu tahu, 570 kilometer memisahkan aku dan kekasihku! Dia di Jakarta, sedangkan aku di Solo. Tentu kami tidak bisa saling menghadirkan diri kami satu sama lain setiap hari. Zaman dulu mungkin kami akan saling berkirim surat. Mungkin aku akan memelihara merpati untuk mengirimkan suratku itu kepadanya. Atau, bisa jadi aku akan berlangganan perangko untuk itu. Di era komunikasi ini kita memiliki telepon, layanan sms, email, facebook, juga twitter. Semua itu mempermudah komunikasi jarak jauh kami. Akan tetapi, semua hal itu bukannya tanpa masalah. Dia di Jakarta bekerja, bahkan sering kali melembur. Begitu sibuk. Dia asyik melakukan pekerjaan yang disukainya itu, pekerjaan yang begitu jarang tersedia di Solo. Aku sendiri di Solo, walaupun sejak 15 Juli 2013 lalu resmi menjadi pengangguran, asyik menyibukkan diri dengan proses-proses kreatif kesenian, entah itu teater atau puisi, asyik mengetik renungan-renungan filosofis, berdiskuis akademis, dan lain sebagainya. Aku begitu menikmati hidup. Dan, sering kali aku harus berpergian ke luar kota untuk melakukan hal-hal tersebut di atas.
Akhirnya kami pun tidak hanya terspisah oleh jarak, tetapi juga oleh waktu. Ritme hidup kami menjadi lain. Kami menjadi sulit hadir satu sama lain. Kekasihku itu, sebagaimana manusia pada umumnya, melakukan segala aktivitasnya di siang hari dan beristirahat di waktu malam. Sedangkan aku benar-benar menjelma menjadi “Kalong Gedhe”. Segala aktivitas tersebut di atas kulakukan ketika malam tiba, ketika semua orang sudah tidur. Dan, aku pun tidur ketika semua orang sudah bangun. Ini masalah!
Maka, ketika aku memiliki cukup uang untuk melakukan peregrinatio, aku memilih untuk melakukan perjalanan ke Jakarta. Aku juga ingin bertemu dengan kekasihku, hadir secara utuh dan intens baginya. Segenap eksistensiku kuhadirkan di hadapannya. Aku ingin meruang dan mewaktu bersamanya. Apa lagi, dia ulang tahun akhir Juni itu. Dia telah hidup selama seperempat abad. Maka, momentum ulang tahun itu pasti menjadi lebih spesial dari pada ulang tahun ke-24 atau ke-23 yang lalu. Aku pikir, ada baiknya aku tak hanya memanifestasikan kehadiranku itu di situ dan saat itu saja, tetapi juga memanifestasikannya kepada sesuatu hal yang dapat kujadikan hadiah ulang tahun seperempat abadnya yang spesial itu, sehingga dia dapat merasakan kehadiranku hanya dengan melihat benda itu. Sakramen.
Yesus telah meruang dan mewaktu bersama murid-muridnya selama kurang lebih tiga tahun. Kita bisa membayangkan kehadiran Yesus yang intens bagi murid-muridnya. Kemudian, pada sebuah malam yang spesial, malam terakhir Yesus hidup, dia memanifestasikan segenap kehadirannya itu dalam rupa roti dan anggur, tubuh dan darahnya. Maka, hingga sekarang, orang-orang Katolik kembali merayakan peristiwa perjamuan malam itu, lalu menyantap roti dan anggur yang sudah dikonsekrasi, untuk merasakan kehadiran Yesus di tengah-tengah mereka. Para imam saat konsekrasi berkata, “... Kenangkanlah Aku (Yesus) dengan merayakan peristiwa ini.”
Sakramen, kehadiran seseorang melalui sesuatu, pengenangan kembali seseorang, penghadiran kembali peristiwa tertentu sebenarnya bukanlah sesuatu yang di luar yang manusiawi. Justru hal tersebut sungguh sangat manusiawi. Kompas, alat penunjuk arah utara itu, selalu menjadi satu hal yang spesial di dalam hidupku. Bukan hanya karena kompas itu membantuku untuk berpetualang, tetapi karena kompas pertama yang aku miliki diberikan oleh bapakku yang kini sudah tiada. Ketika aku berpetualang dengan memakai kompas, seakan-akan aku berpetualang bersama bapakku, bapakku turut pula hadir di dalam petualangan itu. Contoh yang lainnya, sejak 22 Desember 2012 yang lalu di ibu jari tangan kiriku melingkar cincin perak (yang sempat berlapis emas) dengan ukiran nama Kartika. Cincin itu bukan saja merupakan tanda bahwa kami telah bertunangan, melainkan sebagai tanda bahwa aku selalu bersama kekasihku. Kekasihku selalu hadir bersama denganku melalui cincin di ibu jari tangan kiriku itu. Lapisan emasnya yang telah memudar itu menandakan bahwa ke manapun aku berpetualang (entah ke puncak gunung, berenang di telaga, menikmati sunset di pantai), aku selalu mengenakannya. Aku selalu bersama kekasihku yang de facto berada di Ibu Kota Indonesia. Kamu pun pasti memiliki pengalaman yang sama.
Benda (dan bisa juga peristiwa) yang menghadirkan orang atau kenangan akan orang itu adalah sakramen. Sekali lagi, perlu dicatat di sini, bahwa aku tidak sedang membahas tujuh sakramen di dalam Gereja Katolik. Aku hanya menggunakan logika berpikirnya saja. Benda yang adalah sakramen itu pastilah benda yang unik, khas, spesial. Benda itu unik, khas, spesial sejauh diberikan oleh orang yang unik, khas, spesial, atau diberikan pada momentum yang unik, khas, spesial, atau diberikan/didapat pada sebuah peristiwa tertentu yang khusus, atau perpaduan dari ketiganya. Misalnya, hadiah yang kuberikan kepada kekasihku itu bisa jadi menjadi sakramen baginya. Dia akan merasakan kehadiranku dengan melihat benda itu, lalu menjadi rindu kepadaku, dan kemudian kami sms-an, telepon, saling berkirim email, atau bahkan bertemu muka langsung. Sebab, hadiah itu diberikan oleh orang yang spesial baginya (oleh seorang kekasih), diberikan pada momentum yang unik (setelah kami merayakan ulang tahunnya dengan menonton bioskop), dan pada sebuah peristiwa yang khusus (perayaan ulang tahun kedua puluh lima / seperempat abad). Sama seperti roti dan anggur bagi orang-orang Katolik itu. Roti-anggur itu diberikan oleh Yesus, bahkan diiringi perkataan “inilah tubuhku, inilah darahku” (kita tidak perlu meragukan bagaimana Yesus itu spesial bagi orang-orang Katolik), pada momentum malam terakhir Yesus hidup sebelum esoknya dihukum salib hingga mati, dan pada peristiwa perjamuan makan malam di saat-saat Paskah (Yesus dan murid-muridnya adalah orang-orang Yahudi yang taat menjalankan ajaran agama Yahudi sehingga Paskah pastilah menjadi hari yang spesial bagi mereka).

ALIENASI IDENTITAS INDIVIDU OLEH IDENTITAS KELOMPOK
Tepat pada tanggal 01 Juli 2013 aku pulang. Motorku sedikit bermasalah, sehingga aku harus melalui Alas Roban sebelum gelap. Aku memacu sepeda motorku dengan kecepatan di atas 80 km/h. Pada pukul 13.00 aku tiba di Cirebon. Setelah sejenak beristirahat, minum kopi dan air putih, aku melanjutkan perjalanan. Pada sebuah perempatan ada serombongan orang touring. Mereka berlima mengendarai tiga Beat. Melihat riding-gear-ku, road-captain mereka menyapa. Sebuah sapaan dan perkenalan yang singkat di bawah traffic-light.
“Halo, Bro!” sapanya.
“Oh, halo!”
“Dari mana?”
“Jakarta. Kalian dari mana?”
“Bekasi. Mau ke mana ini?”
“Pulang Solo. Kalian mau ke mana?”
“Pulang. Ngawi, Malang, Madiun. Ikut club apa?”
“HMPC. Kalian?”
“Beda-beda kok. Mau bareng?”
“Boleh,” kataku.
Road-captain itu segera memberitahu rombongannya bahwa sebuah New MegaPro akan ikut perjalanan pulang itu. Karena tenaga motorku jauh lebih besar dibanding ketiga matic itu, aku mengambil inisiatif untuk menjadi sweeper, aku di belakang sendiri.
Touring itu bukan balapan jalanan, jadi aku tak bisa menyalib teman satu rombongan di depanku seenaknya tanpa alasan yang jelas dan penting. Touring adalah keselamatan bersama, keselamatanku, keselamatan rekan satu rombonganku, dan keselamatan pengguna jalan lain. Maka, aku tidak bisa lagi memacu motorku di atas 80 km/h. Aku harus mengikuti kecepatan yang diisyaratkan sang road-captain yang mengendarai matic itu. Perjalanan menjadi lebih lama tentunya. Tetapi itu tak jadi soal. Bahkan, aku tak lagi kuatir jika harus melalui Alas Roban ketika hari sudah gelap, sebab kini aku memiliki teman seperjalanan.
Ketika senja kami tiba di Pekalongan. Kami beristirahat, makan, minum, sembari menanti adzan maghrib. Seusai adzan, seorang anggota BATIK (club Beat Pekalongan) menghampiri kami. Kami pun dipersilakan beristirahat di sekretariat BATIK, yang notabene rumah seorang anggota mereka. Tidak berselang lama, beberapa anggota BATIK dan SOCK (Supra Pekalongan) datang dan turut menjamu kami. Kami langsung cepat akrab. Kami bercanda bersama. Kami makan. Kami tiduran. Kami numpang mandi. Bahkan, kami numpang kencing dan berak. Hal-hal tersebut akan sungkan dilakukan oleh orang yang baru pertama kali bertemu, bukan? Apa lagi, di tengah semakin kuatnya konsep “orang asing” seperti yang telah aku tulis di atas. Apakah semangat “sekendi air” masih diwarisi oleh orang-orang Nusantara modern? Keakraban itu karena identitas yang kami miliki, yaitu sama-sama biker. Mereka bahkan tidak mengetahui bahwa aku saat itu adalah seorang guru Bahasa Inggris SD, aktor teater, penyair, (masih) seorang Katolik walau jarang merayakan ekaristi sejak melepas panggilan “frater”, seorang eksistensialis, seorang pemikir bebas, seorang yang cenderung kekiri-kirian, seorang yang percaya versi sejarah bahwa peristiwa ’65 adalah kudeta Soeharto dan bukan pengkhianatan PKI, penggemar terong goreng, seorang yang suka mendengarkan musik metal, dan sebagainya. Bahkan, mereka mungkin tidak akan peduli dengan identitasku yang itu. Yang mereka lihat saat itu adalah ada seorang pengendara New MegaPro, anggota HMPC, sedang beristirahat di sekretariat mereka dari perjalanan pulang ke Solo. Saat itu, itulah identitasku yang diafirmasi oleh mereka. Segenap identitasku yang lain adalah tidak berguna, termarjinalisasi, dan bahkan teralienasi. Bandingkan dengan keadaan ketika kamu hadir di hadapan orang yang kamu cintai. Kamu pasti menghendaki kalian saling hadir dengan utuh, dengan segenap identitas yang kalian miliki, tanpa tedeng aling-aling, bukan? Akan tetapi, keadaan itu memerlukan waktu. Sedangkan momentum senja kala itu tidak memberi kami waktu yang cukup, sehingga satu identitas (yang sama) saja sudah cukup untuk kami saling mendefinisikan dan mengafirmasi diri, supaya kami akrab.
Identitasku sebagai pengendara New MegaPro, anggota HMPC, dari Solo saat itu benar-benar mendefinisikan aku. Pada saat itu, tiba-tiba saja aku tidak memiliki identitas lain selain itu. Apa lagi, ketika ada seorang pengendara MegaPro, anggota HMGC (club MegaPro dan GL Pro Pekalongan), hadir pula di sekretariatan BATIK, setelah seorang anggota SOCK memberi tahu kehadiran seorang pengendara New MegaPro, anggota HMPC, dari Solo di Pekalongan. Intensi anggota SOCK itu sebenarnya baik, supaya ada silaturahmi antara sesama pengendara MegaPro dari Solo dan Pekalongan.
Akan tetapi, atmosfer tempat itu segera berubah setelah anggota HMGC itu tiba. Suasana keceriaan, canda, dan woles (baca: slow) itu berubah menjadi muram dan serius. Anggota HMGC yang mengaku sebagai Gubernur AMI regio Jawa Tengah itu ternyata memandang satu-satunya identitasku yang tersisa malam hari itu - yaitu pengendara New MegaPro, anggota HMPC, dari Solo - sebagai masalah. Aku pun, yang pada awalnya welcome kepada bapak-bapak separuh baya itu, menjadi waspada begitu mengetahui identitasnya sebagai anggota AMI, bahkan Gubernur AMI regio Jawa Tengah. Teman-teman BATIK, SOCK, dan teman-teman Beat Ngawi, Madiun, serta Malang merasakan perubahan atmosfer itu dan memilih untuk menyingkir. Suasana gojeg itu telah berubah menjadi suasana serius antara orang yang mengaku Gubernur AMI regio Jawa Tengah dengan anggota HMPC Solo.
Aku rasa aku tidak perlu menceritakan seluruh detail peristiwa pada malam hari itu. Namun, agar kamu sekadar tahu konteksnya, aku hanya akan menceritakan garis besarnya saja. Kota Solo memiliki dua club MegaPro, yaitu CM3 - MegaPro Solo dan HMPC Solo. Yang lebih senior adalah CM3 - MegaPro Solo. Ada kesalahpahaman dan miss-communication di antara dua club itu sehingga menimbulkan gesekan. CM3 - MegaPro Solo adalah bagian dari AMI, sedangkan HMPC Solo adalah bagian dari HMPC Indonesia.
Akan tetapi, bukan menceritakan permasalahan kedua club asal Kota Bengawan itu aku bercerita di sini, melainkan aku hendak mengulas tentang identitas yang teralienasi oleh identitas kelompok. Ketika aku bertemu dengan anak-anak Beat Ngawi, Madiun, Malang, serta Pekalongan dan anak-anak Supra Pekalongan itu[3], segenap identitasku teralienasi dan hanya menyisakan satu identitas saja, yaitu anggota HMPC. Akan tetapi, identitasku satu-satunya di mata mereka itu kemudian menjadi batu loncatan bagiku untuk membuka identitasku yang lain. Mengapa hal itu mungkin terjadi? Karena identitasku sebagai anggota HMPC tidak cukup bagi mereka untuk mendefinisikan ulang diriku. Hingga akhirnya satu per satu aku menarik kembali identitasku yang lain dari garis alienasi. Pelan-pelan aku hadir secara utuh di hadapan mereka. Tentu mereka pun (tanpa mereka sadari) mengalami hal yang sama. Akhirnya, mereka perlahan-lahan pun hadir secara utuh di hadapanku. Itulah apa yang sebenarnya terjadi di balik keakraban, canda, dan woles pada malam hari itu. Aku pun menjadi tahu bahwa sang road-captain ternyata adalah seorang guru SD. Aku pun jadi tahu pemilik rumah (sekretariatan) itu masih pelajar, memiliki kakak perempuan, dan tinggal bersama ayah-ibunya. Aku pun tahu bahwa teman-teman seperjalananku tadi banyak yang latah. Identitas-identitas yang lain itu terdedahkan karena kami saling mengafirmasi satu-satunya identitas kami yang tersisa di awal pertemuan.
Hal yang lain terjadi ketika kita tengah berada di dalam situasi konflik. Ketika bapak-bapak yang mengaku sebagai Gubernur AMI regio Jawa Tengah itu datang dan melihat satu-satunya identitasku yang tersisa pada malam hari itu, yaitu anggota HMPC Solo, dia melihat itu sebagai masalah. Perjumpaan kami dia tempatkan di dalam sebuah situasi konflik. Di dalam situasi konflik itu, dia mengurungku di dalam satu-satunya identitasku yang tersisa itu. Aku tak mampu menjadikan identitasku yang tersisa itu sebagai batu loncatan untuk menarik kembali identitas-identitasku yang lain dari garis alienasi. Aku telah didefinisikan hanya sebagai anggota HMPC Solo. HMPC Solo pun telah didefinisikan hanya sebagai yang memiliki masalah dengan CM3 - MegaPro Solo. Maka, aku kemudian telah didefinisikan hanya sebagai yang memiliki masalah dengan CM3 - MegaPro Solo. Padahal, de facto aku pribadi belum pernah bertatap muka dengan satu pun anggota CM3 - MegaPro Solo. Dan, de facto aku pribadi tidak memiliki satu masalah pun dengan salah satu anggota CM3 - MegaPro Solo. Namun, di dalam situasi konflik itu, kepribadian, pengalaman-pengalaman eksistensial, identitas-identitas selain yang telah digunakan untuk mengurung dan mendefinisikan individu menjadi tidak penting, sebab itu semua tidak cocok untuk mendukung berlangsungnya situasi konflik. Identitasku tersedot sedemikian rupa ke dalam identitas HMPC Solo. Aku teralienasi.
Lalu, apa yang aku lakukan? Di dalam situasi konflik semacam itu, aku bisa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh bapak-bapak anggota HMGC, yang mengaku Gubernur AMI regio Jawa Tengah itu. Coba kamu perhatikan caraku menyebut dirinya ini. Aku masih mengurung dia di dalam satu-satunya identitas yang dia perkenalkan kepadaku. Bisa jadi ternyata dia adalah seorang pengusaha sukses, atau pensiunan, atau seorang suami yang baik, atau seorang ayah dari anak-anak yang cantik, atau seorang ayah mertua yang bijaksana. Namun, aku tidak pernah tahu. Sebab, semua identitasnya yang lain itu teralienasi oleh satu-satunya identitas yang dia perkenalkan kepadaku, Gubernur AMI regio Jawa Tengah. Lalu kemudian, pertanyaannya adalah, apakah saling mengurung identitas itu merupakan satu-satunya hal yang dapat kita lakukan di dalam situasi konflik? Jawabannya adalah tidak. Jika benar itu adalah satu-satunya cara, maka konflik apapun di dunia ini tidak akan pernah selesai, bahkan justru semakin rumit. Kita adalah makhluk yang bebas. Kesadaran kitalah yang membuat kita menjadi makhluk yang bebas. Kita bebas keluar dari kurungan identitas itu. Kita bebas menarik kembali segenap identitas kita dari garis alienasi. Dan, pada malam hari itu aku pun bebas. Setelah kami sama-sama saling mengurung identitas satu sama lain, aku mulai menarik satu identitasku yang lain dari garis alienasi, yaitu orang yang diinspirasi oleh semangat “ahimsa”. Tanpa kekerasan. Perdamaian. Sebagai orang yang menyukai jalan diplomasi yang elegan dari pada kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. Sebagai orang yang lebih suka berdiri di antara dari pada berdiri melawan, walaupun berdiri di antara itu jauh lebih sulit dari pada berdiri melawan. Berawal dari itu, situasi konflik pun berubah menjadi situasi rembug tuwa. Bapak-bapak itu pun mengundang ketua HMGC dan mantan CM3 - MegaPro Solo yang sekarang tinggal di Pekalongan. Setelah mereka berdua datang bersama istri masing-masing, situasi konflik berakhir. Atmosfir yang tercipta menjadi hangat. Dan, dari rembug tuwa tersebut aku mendapatkan oleh-oleh yang dapat aku berikan kepada saudara-saudara HMPC Solo, yaitu jalan rekonsiliasi dengan CM3 - MegaPro Solo.
Mungkin contoh kasus yang aku paparkan di atas terlalu lokal untuk dapat dipahami oleh orang-orang yang bukan biker. Baiklah, aku akan memberi contoh kasus yang lebih terkenal, yaitu konflik Israel-Palestina. Membaca Israel-Palestina, identitas apa yang kamu tangkap dari kata “Israel” dan “Palestina”? Israel, beragama Yahudi, zionisme, penjajah, bengis. Palestina, beragama Islam, terusir dari tanah airnya, bangsa terjajah, korban perang. Itu adalah identitas-identitas yang pada umumnya kita gunakan untuk mengurung orang-orang Israel dan Palestina. Katakanlah kamu orang Israel dan aku orang Palestina. Apakah kamu tahu, bahwa meskipun aku orang Palestina dan ibuku berkerudung, kami sekeluarga adalah orang-orang Katolik Timur (Nasrani)? De facto memang banyak orang Palestina beragama Katolik (Nasrani) yang turut serta menjadi korban dan turut serta berjuang. Apakah kamu tahu, bahwa sebenarnya kami tak menginginkan perang, tetapi hanyalah kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Palestina? Apakah kamu tahu, bahwa konflik di antara kedua bangsa kami bukanlah konflik agama, tetapi perjuangan kemerdekaan? Apakah kamu tahu, bahwa aku dan banyak orang Arab menyukai band metal Orphaned Land dari Israel itu? Akan tetapi, kita telah terjebak di dalam situasi konflik ini. Lalu, aku bertemu denganmu di jalan. Kamu memperkenalkan diri sebagai seorang Israel. Aku lalu langsung waspada terhadapmu, menaruh kebencian, dan mungkin langsung menyerangmu, membunuhmu oleh karena identitas Israelmu itu. Bahkan, kamu tidak sempat memperkenalkan dirimu sebenarnya, bahwa kamu menyukai musik metal, band favoritmu adalah Orphaned Land yang gemar sekali menyuarakan perdamaian dan kesadaran spiritual, bahwa kamu setuju dengan pesan yang disampaikan oleh Orphaned Land, bahwa kamu sebenarnya cinta damai, bahwa kamu dan banyak rabbi-rabbi yahudi sebenarnya antizionisme.
Contoh kasus lain adalah demo mahasiswa. Aku adalah mahasiswa, sedangkan kamu adalah polisi antihuru-hara. Pada suatu momentum tertentu, seorang provokator berhasil membuat demo itu menjadi sebuah kerusuhan yang dahsyat. Kamu melihat aku hanya sebagai mahasiswa yang membuat rusuh. Kamu akan mementungku, menendangku, menyemprotku dengan gas air mata, dan mengamankanku. Kamu tidak akan melihat bahwa aku adalah seorang anak tunggal dari seorang janda, mahasiswa tingkat akhir yang tengah skripsi, memiliki IPK 3,5, kritis terhadap situasi politik dan sosial bangsa, dan menyuarakan bahwa kebijaksanaan BLSM pemerintah itu tidak mendidik sebab hanya memupuk mental mengemis. Di tengah situasi konflik seperti itu, aku pun akan melihat kamu sebagai polisi yang tengah menyerang aku dan kawan-kawan mahasiswa yang lain. Aku dan teman-teman akan berusaha melindungi diri dari seranganmu, balik memukulmu, melemparimu dengan batu dan petasan, dan memakimu ACAB (all[4] cops are bastard). Aku tidak akan sempat mengenalmu sebagai suami yang bertanggung jawab, seorang patriot, tidak kalah nasionalisnya dengan kami para mahasiswa, sebagai seorang ayah dari seorang bayi yang lucu, seorang sahabat yang hangat, dan lain sebagainya.
Ketika orang menjadi bagian dari sebuah identitas yang lebih besar, identitas-identitasnya yang lain tersedot oleh identitas yang lebih besar tersebut. Di dalam sebuah perjumpaan, pertama kali yang dilihat orang lain adalah identitas yang lebih besar tersebut. Di dalam situasi damai, identitas yang lebih besar itu bisa dijadikan batu loncatan untuk mendedahkan identitas-identitasnya yang lain. Akan tetapi, situasi konflik membuat orang terkurung di dalam satu-satunya identitas yang tersisa tersebut. Orang terkurung di dalam identitas yang dapat mendukung situasi konflik itu menjadi subur, sementara segenap identitasnya yang lain termarjinalisasi. Orang itu teralienasi.

DON’T JUDGE THE BOOK BY ITS COVER
Karena aku harus rembug tuwa dengan beberapa anggota HMGC tersebut sampai larut malam, teman-teman Beat Ngawi, Malang, dan Madiun mendahuluiku. Sayang sekali kami harus berpisah di Pekalongan. Pukul 23.00 dan aku masih di Pekalongan! Aku pun meminta diri. Aku pamit kepada anak-anak BATIK dan SOCK. Seorang anggota HMPC Kendal yang kebetulan sedang ada urusan di Pekalongan memintaku untuk bermalam di Kendal saja. Aku pun diantar oleh seorang anggota HMPC Solo yang kebetulan sedang mudik di Batang. Di sana aku dilepas. Dia pulang ke rumah, sedangkan aku melanjutkan perjalanan, siap membelah gelapnya Alas Roban sendirian. Untung sepeda motorku tidak rewel. Di Kendal aku sudah disambut oleh seorang anggota HMPC Kendal yang lain. Aku bermalam di sekretariatan HMPC Kendal.
Keesokan harinya setelah mandi dan sarapan, aku diantar berkunjung ke rumah ketua chapter HMPC Kendal. Kalau kamu melihatnya sekilas, kamu pasti akan takut, lalu kemudian resist terhadapnya. Rambutnya gondrong. Kulitnya gelap. Dia tidak bekerja di kantor atau perusahaan. Tipe-tipe orang yang anti-kemapanan. Apa lagi, dia ketua chapter sebuah club motor. Mungkin kamu kesulitan membedakan “club motor” dengan “gank motor”. Itu lebih memperumit. Terlebih lagi, ternyata dia adalah seorang metalhead! Beberapa orang naif mengidentikkan musik metal dengan satanic. Kamu juga? Itu semakin memperumit. Sekarang kita telah memiliki cover yang cukup lengkap untuk mengidentifikasi ketua chapter HMPC Kendal itu, atau dengan bahasa yang kita gunakan pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengurungnya di dalam suatu identitas tertentu. Namun, benarkah demikian? Benarkah dia seperti yang kita asumsikan?
Mari kita tunda dulu segala pra-pemahaman kita atasnya. Kita tunda dulu segala asumsi kita. Epoche[5]. Di dalam perjumpaan wajah dengan wajah itu, aku membiarkannya mendedahkan dirinya. Kenyataan bahwa dia adalah seorang ketua chapter tidak membuatnya menjadi pribadi yang angkuh. Dia begitu welcome terhadapku, seorang anggota HMPC embrio[6]. Keangkuhan adalah penghalang perjumpaan wajah dengan wajah. Situasi konflik akan menjadi semakin rumit dan mengkhawatirkan ketika diwarnai dengan keangkuhan. Keangkuhan hanya akan mengalienasi identitas, baik identitas liyan maupun identitasnya sendiri. Dengan keangkuhan orang mengurung orang lain di dalam sebuah identitas yang menguntungkan situasi konflik, sedangkan di saat yang bersamaan dirinya sendiri pun terkurung di dalam sebuah identitas yang juga menguntungkan situasi konflik tersebut. Mereka menjadi pribadi yang tidak otentik, tidak dapat saling hadir secara utuh, sebab mereka telah teralienasi.
Kenyataan bahwa dia berambut gondrong[7] pun sebenarnya tidak merisaukanku yang pernah pula berambut panjang. Gondrong ain’t crime. Orang-orang Jawa sebenarnya memiliki sejarah mengapa rambut gondrong diidentikkan dengan orang-orang urakan. Orang-orang Jawa sebenarnya lupa bahwa nenek moyang mereka dahulu kala berambut gondrong dan menggelung rambut mereka di atas kepala. Semua berawal dari perspektif seorang Sultan Jawa[8] yang menganggap rambut pendek itu lebih beradab, sebab orang-orang Belanda itu berambut pendek. Andai Sultan Jawa itu sekarang melihat metalhead dari Eropa... . Tapi, benarkah gondrong itu identik dengan urakan? Dan, benarkah urakan itu sama dengan tidak baik? Mungkin benar bahwa gondrong itu identik dengan urakan, sejauh urakan itu diartikan sebagai “jiwa merdeka”. Mengapa orang-orang menggondrongkan rambut? Karena mereka ingin mengungkapkan bahwa mereka adalah orang-orang yang merdeka. Mereka bebas mengekspresikan diri mereka. Tidak ada satu otoritas pun yang lebih tinggi dari pada otoritas kesadaran eksistensi mereka. Berbeda dengan perempuan, perempuan memanjangkan rambut atas alasan keindahan. Lelaki menggondrongkan rambut dengan alasan pemberontakan atas represi negara dan sosial.
Kenyataan bahawa dia adalah seorang metalhead justru semakin membuatku tertarik akan kisahnya. Benarkah seorang metalhead itu identik dengan satanic dan dengan demikian dia adalah seorang berdosa, seorang kafir, seorang jahat yang harus dijauhi? Kubiarkan dia menghadirkan dirinya. Dia bercerita tentang perkembangannya sebagai seorang metalhead. Pada awalnya memang dia terjebak pada asumsi bahwa metal itu satanic dan bahwa metal (baca: blackmetal) itu musik superior dibandingkan genre musik lainnya. Dia mengaku pada awalnya dia mengenakan atribut-atribut satanic. Atribut satanic yang sederhana adalah salib-terbalik[9]. Dia, yang seorang muslim itu, mengenakan salib-terbalik itu sebagai kalung. Sangar, ‘kan? Akan tetapi, kemudian dia berpikir lebih dalam. Dia adalah seorang muslim. Salib adalah lambang agama Kristiani, dan itu bukan agamanya. Salib-terbalik, di samping sebagai salah satu atribut satanic, dianggap merupakan cemoohan terhadap Kristianisme. Padahal, dia tidak ingin mencemooh yang bukan agamanya. Dia tidak ingin mencemooh junjungan umat agama lain, walaupun umat Kristiani di Kendal itu minoritas. Dia ingin menghormati mereka. Dia tidak ingin mencemooh, sebab dia juga tidak ingin agama dan junjungannya dicemooh orang lain. Imperatif kategoris (the golden rule)! Akhirnya, sebagai praksis, dia melepas kalung salib-terbalik tersebut. Metal tidak identik dengan satanic. Bahkan, metal bisa pula digunakan untuk menyebarluaskan perdamaian dan persahabatan. Kebijaksanaan dari seorang metalhead! Pernahkah kamu memikirkan apa yang dia pikirkan?
Kesenian, dalam hal ini musik, telah mempertajam hatinya, melembutkan jiwanya, dan membuatnya bijaksana. Dia tidak lagi menganggap musik metal sebagai superior di atas genre musik yang lain, dangdut misalnya, walaupun baginya musik metal tetap menjadi favoritnya. Dia mulai menghargai karya-karya seni yang lain. Dia tidak lagi melihat secara parsial, tetapi holistik. Dan, lebih dari pada itu, dia tidak hanya menyimpan kebijaksanaannya itu sendiri, tetapi juga menyebarluaskannya kepada anak-anak muda yang dia dampingi. Sebuah praksis yang manis, bukan?
Lalu kenyataan bahwa dia adalah ketua chapter sebuah club motor berbicara apa padamu? Menurutmu, apa itu club motor? Dapatkah kamu membedakannya dengan gank motor? Apakah dengan menjadi ketua chapter sebuah club motor kemudian dia menjadi ketua gank tertentu, lalu dia bisa mempremani siapa saja? Tidak! Club motor berbeda dengan gank motor. Dan, sebagai ketua, dia menegaskan hal itu dengan menggerakkan club motornya melakukan bakti-bakti sosial. Dia mendidik anggota-anggotanya untuk tidak memiliki mental pengemis, tetapi secara tangguh berusaha.
Don’t judge a book by its cover. Pra-pemahaman memang perlu sehingga kita memiliki gambaran terlebih dahulu, tetapi pra-pemahaman tetaplah pra-pemahaman, sehingga tidak bisa menjadi sebuah final judgment. Epoche, penundaan, kita menunda untuk menilai, hingga apa yang hendak kita nilai itu menghadirkan diri secara utuh di hadapan kita. Kita menunda asumsi, sebab asumsi selalu dilakukan di luar kesadaran. Epoche pun kita perlukan ketika kita bermaksud berjumpa dengan orang lain, sehingga perjumpaan dengan liyan itu bebas asumsi, supaya liyan dapat menghadirkan dirinya secara utuh dan kita dapat memandang secara menyeluruh.

DAN AKU PUN PULANG
Selasa, 2 Juli 2013, pk. 14.00, aku meminta diri dari rumah ketua HMPC chapter Kendal tersebut. Seorang anggota HMPC Kendal, yang pada malam sebelumnya menjemput dan menyambutku itu, mengantarkanku jauh hingga ke perbatasan. Dia menyarankan agar aku tidak lewat Semarang, tetapi lewat hutan Kendal, yang tembus di daerah Boja hingga Sumawana, lalu melewati Bandungan. Di sebuah tempat dia melepasku. Kami bersalaman dan berpelukan layaknya sepasang sahabat lama yang hendak berpisah jauh. Aku harus berterima kasih kembali kepada Aidin “Gendhon” Sastranegara, yang telah menjemputku di alun-alun Kendal di tengah malam buta, mengantarkanku berjumpa dengan seorang metalhead yang mengagumkan, dan menunjukkan kepadaku sebuah rute pulang yang sungguh sangat manis! Berkendara di tengah hutan, naik-turun perbukitan, menyambut hawa dingin pegunungan, dan melihat pemandangan Indonesia yang sungguh sangat eksotis adalah suatu kepuasan. Semua hal itu membuat hidup menjadi lebih menggairahkan! Semua hal itu membuatku semakin berani untuk mengatakan “ya” pada hidupku saat itu. Hidupku pada saat itu secara konkret dan khusus adalah berkendara pulang. Aku mengatakan “ya” pada hidupku itu. Ya, itu adalah “riding back home” yang menggairahkan! Aku merindukan rute itu.

BELAJAR DARI ORANG SEDERHANA, MENGATAKAN “YA” PADA HIDUP
Di tengah perjalanan pulang itu aku bertemu dengan banyak sekali bus dan truck. Kita mengetahui bersama seni lukis truck. Biasanya truck-truck itu dilukisi gambar-gambar menarik atau sekadar semboyan pengemudinya. Kadang truck itu dihiasi lukisan perempuan cantik. Kadang dilukisi gambar Sang Proklamator, penyambung lidah rakyat. Kadang pula dilukisi gambar Sang Diktator Orde Baru yang tengah berkata, “Piye kabare, Le? Penak jamanku, ta?” Kadang hanya dihiasi semboyan sang pengemudi “ora ubet ora ngliwet”, “ora obah ora mamah”, “pergi karena kerja, pulang karena cinta”, “tidak pulang rindu, pulang malu”, “lali rupane, eling rasane”, dan lain sebagainya. Ada satu truck yang kemudian menarik perhatianku. Truck itu dihiasi semboyan pengemudinya. Sebuah semboyan yang menggambarkan suatu keberanian untuk mengatakan “ya” pada hidup. “Ora nggresula. Pait legi diulu.” Tidak mengeluh. Pahit manis ditelan.
Saat ini banyak rakyat Indonesia mengalami hidup yang susah. Sandang pangan susah. Semua mahal. Rakyat Indonesia banyak yang memaki, menggerutu, mengeluh, sambat, menyalah-nyalahkan, mencari kambing hitam, atau kemudian malah justru apatis, tak bergairah, dan bahkan tidak mau melakukan apapun untuk menghadapi keadaan itu. Memang sudah tugas negara (baca: pemerintah yang dipilih oleh rakyat) untuk menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, somehow negara justru memupuk sikap apati ini. Negara secara terang-terangan mengebiri mental rakyatnya dengan memaksa mereka untuk menjadi pengemis dengan program BLSM. Alih-alih menyejahterakan rakyat miskin, program itu justru menghajar tepat pada mental rakyat! Rakyat kemudian hanya bisa mengeluh, memaki, dan meminta-minta, tanpa memiliki keberanian dan mental untuk menghadapi hidup dan berbuat sesuatu atas hidup itu. Tak heran jika rakyat Indonesia hanya pandai mengeluh dan mencaci. Bahkan, rakyat Indonesia sudah sedemikian putus asa, tak lagi memiliki gairah hidup, tak lagi berani menatap di sini dan kini. Mereka kemudian melarikan diri kepada kenangan masa silam yang seakan-akan saja manis. Mereka lari kepada kenangan akan masa-masa kekuasaan diktator Orde Baru. “Piye kabare, Le? Penak jamanku, ta? Apa-apa murah!” Mereka tidak menyadari bahwa kekuasaan Orde Baru didirikan di atas darah ratusan juta rakyat Indonesia dan didirikan dengan gaya tiran-yang-sopan. Apa-apa murah, termasuk nyawamu! Rakyat Indonesia kini kecut. Tidak ada “jiwa merdeka” yang dengan berani mengatakan “ya” pada hidup dan menyongsongnya dengan gagah berani.
Ora nggresula. Pait legi diulu.” Dua kalimat sederhana yang menghiasi truck itu menjadi luar biasa dalam konteks tersebut di atas. Luar biasa sebab dua kalimat sederhana itu mencerminkan sikap berani menjalani hidup tanpa mengeluh, tidak menyalah-nyalahkan orang lain, dan tidak terbuai pada keindahan semu kenangan masa silam. Sebuah sikap berani mengatakan ya pada kini dan sini. Luar biasa sebab dua kalimat itu ditulis pada sebuah truck, bukan pada serat-serat, bukan pada Kitab Suci, bukan pula pada buku-pedoman-hidup. Luar biasa sebab dua kalimat itu muncul dari seorang yang sederhana, seorang pengemudi truck.
Hidup kita mungkin secara ekonomi sedikit atau jauh lebih baik dari pada pengemudi truck itu. Namun, coba kita lihat status facebook atau twitter kita kembali. Berapa banyak status keluhan di sana? Seberapa sering kita menyalah-nyalahkan keadaan atau orang lain? Atau, bagi yang percaya Tuhan, coba kita tilik kembali bagaimana kita berdoa. Mana yang lebih sering kita doakan, ucapan syukur dan terima kasih atas hidup dengan segala dinamikanya, atau justru keluhan dan permintaan ini-itu? Hidup memang tidak pernah selalu mudah. Akan tetapi, mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Kita harus bersikap proaktif, bukan reaktif. Apa yang bisa kita lakukan untuk menyongsong dan merayakan hidup. Hidup harus kita hadapi dengan “jiwa merdeka”. Hidup perlu dihadapi dengan sebuah “ya”!

Sarang Kalong, 19 Juli 2013
Padmo “Kalong Gedhe” Adi




[1] Kopi dan/atau makanan yang dipesan dan dibayari oleh seseorang untuk seorang asing lain (biasanya tunawisma), yang tak mampu membeli kopi, yang kebetulan lewat di depan warung kopi itu.
[2] Tujuh sakramen itu antara lain baptis, tobat, krisma, komuni, perkawinan, imamat, dan pengurapan.
[3] Perhatikan di sini. Ketika aku menyebut, “... aku bertemu dengan anak-anak Beat Ngawi, Madiun, Malang, serta Pekalongan dan anak-anak Supra Pekalongan itu,” sebenarnya aku telah mengalienasi identitas lain mereka dan mengurung mereka hanya dalam satu definisi identitas. Aku telah menidaki identitas mereka sebagai seorang anak bungsu dari beberapa saudara, seorang guru SD, seorang pelajar, seorang karyawan. Dan, pasti masih banyak lagi identitas mereka yang aku negasi. Aku mengalienasi mereka di dalam satu definisi identitas saja.
[4] Perhatikan kata “all” di sini.
[5] Silakan memperdalam “epoche” dengan membaca Edmund Husserl.
[6] Secara sederhana perbedaan antara “chapter” dan “embrio” adalah bahwa “chapter” itu sudah resmi mendeklarasikan diri dan resmi diakui oleh pusat, sedangkan “embrio” masih merupakan rintisan untuk menjadi “chapter”. Ketika sebuah “embrio” mendeklarasikan diri menjadi “chapter”, dia memiliki tanggung jawab - tanggung jawab baru sebagai “chapter” yang lebih serius.
[7] Kata “gondrong” identik dengan laki-laki. Hanya laki-laki berambut panjang yang dikatakan gondrong. Perempuan berambut panjang tidak pernah disebut gondrong (kecuali mungkin dalam konteks bercanda).
[8] Aku pribadi masih rancu siapakah Sultan Jawa ini. Apakah Amangkurat III atau Paku Buwana X. Kita memerlukan penelitian historis yang lebih serius akan hal ini. Cerita yang sampai kepadaku baru cerita dari mulut ke mulut.
[9] Atribut salib-terbalik yang diidentikkan dengan satanic ini sebenarnya konyol, lucu, dan naif. Kamu tahu, Petrus, Paus Pertama itu, dihukum mati oleh Kekaisaran Romawi dengan cara disalib terbalik, kepala di bawah. Apakah dengan demikian lalu Petrus itu menjadi satanic? Sedangkan, Petrus justru merasa bersyukur dapat mati dengan cara yang demikian.

Comments

  1. teologi ngaspal dr sudut yg berbeda. ttp tetp satu tujuan, yi teologi keselamatan

    ReplyDelete
    Replies
    1. memakai perspektif teologi ngaspal sebagai pisau bedah untuk mengamati fenomena di jalan, mas :)

      Delete
  2. Replies
    1. wakakakakakakakakakaka :v
      Ini lebih tepat disebut "buku harian" berseri :P
      seharusnya memang kupotong menjadi beberapa seri

      Delete

Post a Comment