KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Hadiah Paska

Hadiah Paska

Damai Kristus. Malam Paska kali ini mengejutkanku. Tiba-tiba ibu sms, kaumain ke rumah dan mencariku. Sudah 3 tahun kita tak bertemu. Apa kabar, Maria? Sebenarnya ibu telah menceritakan semua. Entah apa yang harus kutuliskan pada surat ini. Maaf jika surat ini mengganggumu, aku hanya ingin menyapamu. Engkau tak meninggalkan nomor telepon atau HP, hanya meninggalkan alamat pada ibu. Sejak kapan kamu di Salatiga? Maaf, aku hanya bisa mengirimi surat, sebab, kautahu, susah bagiku sekarang berpergian luar kota.
Jujur aku masih mencintaimu. Bahkan, di medan perang dulu, kubawa cintamu serta bersamaku. Pada saat itu Negara sedang membutuhkanku menumpas gerakan separatis. Patriotismeku berkobar. Pro ecclesia et patria, kata-kata Mgr. Soegijopranata itu berdengung di kepalaku. Malam itu di Gua Maria Mojosongo, Solo, kita berdoa bersama. Kita memohon doa Bunda Maria agar aku selamat dalam mengemban tugas sehingga dapat kembali ke pelukanmu hidup-hidup. Akupun berjanji untuk pulang hidup-hidup. “Hanya tiga  bulan dan aku akan pulang,” kataku. Di depan rumahmu saat aku hendak pamit, kamu memelukku erat seakan tak rela melepasku pergi. Kaukalungkan rosario merahmu sambil berkata,“Jika kaupandang rosario ini dan berdoa dengannya, ingatlah aku. Sebutlah namaku dalam doamu.” Kukecup keningmu dan kemudian aku berlalu.
Seminggu kemudian, pada hari Senin, pasukan kami diberangkatkan. Sebelum berangkat, pada hari Minggu, para prajurit yang Katolik boleh mengikuti perayaan ekaristi yang dipimpin seorang pastor TNI, Mayor Angkatan Udara. Kami menerima Sakramen Ekaristi sekaligus Sakramen Pengurapan Suci. Memang kami tidak sakit, tidak pula dalam sakratul maut, juga tidak mengharapkan mati, tetapi sudah sejak dulu para prajurit Katolik menerima Sakramen Pengurapan Suci sebelum berperang. Dan, berkat penutup pada misa Minggu itu benar-benar menggetarkan raga kami, mengobarkan jiwa kami. Kami siap maju!
Kami diterjunkan di garis depan menggantikan pasukan sebelumnya. Tiga bulan terasa tiga tahun dalam keadaan perang di hutan-hutan seperti itu. Para separatis bergerilya. Mereka bisa menyergap kami sewaktu-waktu dan di mana saja. Kami harus waspada. “Tuhan Yesus tolonglah kami, Santo Mikael doakanlah kami,” doaku tiap pagi dan sore hari.
Genap tiga bulan pasukan kami belum juga ditarik pulang. Keadaan makin genting. Negara membutuhkan tambahan pasukan. Tugas kami diperpanjang untuk waktu yang belum dipastikan. Kamu tahu, berpetualang di hutan itu mengasyikkan, apa lagi bersama teman-teman. Namun, tiap hari mendengar suara ledakkan senapan, dentuman bom, erangan musuh meregang nyawa, gemuruh M-16 dan AK-47, apa lagi menyaksikan kematian seorang sahabat sungguh sangat menyesakkan.
Aku mencintaimu, maka aku harus mencintai diriku sendiri. Yesus bersabda,“Cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Maka, bagaimana mungkin aku mencintaimu yang berada nun jauh di Jawa sana jika aku tak dapat mencintai diriku sendiri yang terjebak dalam perang ini? Aku berusaha bertahan hidup hingga dipulangkan. Aku makan apa yang bisa dimakan supaya memiliki cukup tenaga untuk bertahan. Aku terpaksa membunuh supaya tidak dibunuh. Itulah aturan perang, Maria, sederhana, kan? Ah, semoga Tuhan mengampuniku. Katanya, hanya uskup yang dapat mengampuni dosa membunuh. Terkadang di dalam mimpi aku dihantui bayang-bayang mereka yang telah kubunuh. Mereka tidak salah apa-apa, Maria, kecuali bahwa mereka mengusahakan hidup yang lebih baik, lepas dari Pemerintah Negara yang dirasa tidak adil terhadap mereka.
Pada suatu pagi, kira-kira pukul 4, pasukan kami berbaku tembak dengan mereka. Aku tidak sempat menyelesaikan doa rosario. Kami terkepung. Kapten meminta bala bantuan melalui radio. Pasukan lain terdekat berjarak satu jam dari tempat kami. Peluru menghujani kami tanpa ampun. Kami pun membalas sejadi-jadinya. Ya Tuhan, gelap sekali pada waktu itu. Matahari seakan enggan terbit, membiarkan kami menyelesaikan bunuh-membunuh itu dulu. Terakhir yang kuingat, Anton berteriak,“GRANAT!!!” Dan, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Saat kubuka mata, aku telah berada di rumah sakit TNI. Aku pingsan cukup lama ternyata. Syukur pada Allah, aku masih hidup. Deni, sahabatku, tewas di saat bantuan datang. Para separatis itu akhirnya melarikan diri kembali ke hutan. Aku yang pingsan dibawa ke rumah sakit sedangkan teman-teman yang meninggal dikirim kembali ke Jawa. Sebulan kemudian aku dipulangkan.
Aku boleh pulang ke Solo. Segera aku pergi ke rumahmu. Aku telah menepati janjiku, kan? Aku pulang hidup-hidup untuk merajut cinta bersamamu lagi. Melihatku di ambang pintu, kamu tak segera memelukku. Kauhanya diam terkejut. Lalu, menangis. Berlari masuk ke kamar. Ibumu memberitahuku, kautak ingin menemuiku dan berharap aku tak lagi berusaha menemuimu. Saat itu hatiku hancur, Maria. Kutitipkan bunga mawar itu pada ibumu sembari berkata,“Bu, berikanlah ini padanya. Aku tidak menyesal pernah mencintainya dan aku akan selalu mencintainya.”
Tanpa mendapat penjelasan pasti, aku pulang. Apakah karena aku terlalu lama di medan perang sehingga kaubosan menungguku lalu menambatkan hati pada pria lain? Atau, karena sekarang aku tak berkaki? Kakiku terpaksa diamputasi oleh karena granat itu. Apapun alasanmu, kubawa kursi rodaku pergi. Aku ingin memulai lembaran baru pada buku yang lama, tanpamu. Aku mendapat pensiun dini oleh karena kakiku. Sempat aku berontak pada Tuhan; 3 bulan aku tak ke gereja. Namun, kemudian aku sadar, Tuhan masih mencintaiku. Tuhan masih memberiku hidup. Aku masih hidup, Maria! Mengatakan “YA” pada hidup dengan segala konsekuensinya, walaupun tanpa kaki, walaupun tanpamu, adalah cara bersyukur pada-Nya. Gloria Dei homo vivens, kira-kira kuterjemahkan demikian,“Kemuliaan Allah adalah manusia yang menghidupi hidupnya dengan lebih hidup”.
Aku menyepi ke Jogja. Baru kusadari, aku memiliki talenta selain membunuh musuh Negara, tulis-menulis. Kini aku bekerja sebagai editor pada sebuah penerbit. Syukur pada Allah, mereka lebih menghargai talenta dari pada keadaan fisikku. Kadang aku menulis puisi dan cerpen, bahkan, karena sempat mengedit beberapa terjemahan buku filsafat, aku tertarik menulis renungan filosofisku sendiri.
Dan, di Malam Paska ini kudengar kaudatang mencariku. Kamu ingin menemuiku dan meminta maaf. Ah, Maria, aku tak dendam padamu. Aku telah memaafkanmu. Aku kini sudah mampu menerima. Mana ada wanita secantik kamu sudi mencintai pria tanpa kaki sepertiku? Namun, setidaknya dulu kita pernah saling mencintai, maka tak perlu aku memusuhimu. Cintaku lebih besar daripada luka hatiku. Datanglah sebagai seorang sahabat ke rumahku di Jogja. Kita masih bisa bersahabat, kan? Pada amplop surat ini tertera alamat dan nomor telepon serta HP-ku.
Selamat Paska, Maria. Sampai jumpa. Damai Kristus.

14 Maret 2010
Padmo “Kalong Gedhe” Adi


Comments