KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Estetika Sublim di dalam Video Game (1)

Estetika Sublim di dalam Video Game (1)*
oleh: Padmo Adi


*Paper ini disempurnakan di sini.


Martin Suryajaya di dalam artikel Permainan Video sebagai Gesamtkunstwerk (http://indoprogress.com/2014/12/permainan-video-sebagai-gesamtkunstwerk/) mengatakan bahwa video game merupakan suatu seni total. Dia berpendapat bahwa video game merupakan suatu gabungan dari berbagai macam cabang seni: seni rupa (seni lukis, seni patung, seni grafis, fotografi, seni video), sastra, teater, seni musik, dan seni tari. Hubungan antara semua seni itu dengan video game bukan merupakan hubungan kronologis, melainkan di dalam video game itu terdapat unsur-unsur seni tersebut. “Permainan video, dengan demikian, merupakan rangkuman—sebuah summa—dari seluruh cabang kesenian,” kata Martin Suryajaya pada artikel tersebut. Martin Suryajaya pun mengatakan, dan saya menyetujui, bahwa ada satu unsur yang membuat video game menjadi khas, yaitu partisipasi.

Partisipasi atau peran aktif di dalam video game itu menjadi ciri khas yang tidak bisa dihilangkan. Tanpa partisipasi, tidak akan pernah ada video game. Jika seorang penari menciptakan karya seni, tarian, untuk dinikmati dengan cara ditonton, seorang pematung membuat patung untuk dinikmati dengan cara ditonton, seorang sineas membuat karya film untuk dinikmati dengan cara ditonton, seorang musikus mengaransemen lagu untuk dinikmati dengan cara didengarkan, seorang cerpenis menulis karya sastra untuk dinikmati dengan cara dibaca, seorang programer video game membuat karya seni, video game, bukan sekadar untuk didengar, dibaca, atau ditonton, melainkan untuk dimainkan. Kita harus aktif di dalam video game. Berbeda dengan menonton film di mana kita hanya menyaksikan orang-orang lain memerankan karakter-karakter tertentu, di dalam video game kita harus menjadi karakter tertentu. Kita mau tidak mau harus mengafirmasi, bahkan membatinkan ideologi tertentu, sehingga kita bisa memainkan video game tertentu, atau hanya ada game over di sana (Padmo Adi, Kewargaan yang Tidak Main-main di dalam Realita Virtual Game, paper seminar Dilema Kewargaan Budaya, Ilmu Religi dan Budaya - Universitas Sanata Dharma, 2014).

Di dalam peran aktif kita memainkan video game tersebut, disadari atau tidak ada hasrat yang tertumpah di sana. Ketika kita tengah memainkan video game, kita tengah berhadapan dengan objet a. Objet a adalah istilah khusus yang dipakai Jacques Lacan untuk menunjuk kepada suatu obyek penyebab hasrat. Game menyediakan bentuk-bentuk simbolis yang jauh lebih kaya dari pada film, dan bentuk-bentuk itu bisa menjadi fantasi ($<>a) (Padmo Adi, 2014). Objet a dapat berupa apa saja, mulai dari suara, pandangan. Di dalam game, objet a itu bahkan dapat berupa “aksi heroik” character (saya sengaja tidak menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia) yang kita mainkan. Bayangkan saja ketika dirimu sedang berada di tengah-tengah dunia fantasi dengan pemandangan yang sedemikian fantastis, back-sound musik yang menyentuh hati atau membakar semangat, quest yang menantang, dan dari tubuhmu keluar efek-efek cahaya menakjubkan ketika kautengah beraksi. Perpaduan hal-hal itu tentu tidak akan pernah kita temukan di dunia real-simbolik kita, bahkan mungkin bahasa tidak bisa mengungkapkan keadaan seperti itu dengan paripurna. Hasrat meluber bukan saja melalui apa yang kita dengar dan saksikan, melainkan justru pada tindakan-tindakan yang kita lakukan melalui character kita tersebut. Character itu menjadi perpanjangan diri kita, perpanjangan tubuh kita, dan perpanjangan kehadiran kita. Ketika kita bermain Final Fantasy VII, misalnya, seketika itu pula tubuh kita dan tubuh Cloud Strife bersatu, melalui sebuah konsol. Kisah sejarah hidup kita seketika lebur bersama dengan plot cerita Cloud Strife. Ketika kita berhasil mengalahkan Safer Sephirot (wujud terakhir dari Sephirot), lalu menyaksikan bagaimana meteor yang di-summon oleh Sephirot menggunakan Black Materia itu berhasil ditahan oleh kekuatan Holy, walau terjadi ledakan besar setelah itu, kita akan mengalami suatu perasaan yang aneh, sebuah perpaduan antara lega, puas, senang, dan penasaran akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin itulah sebabnya Squaresoft (sekarang Square Enix) membuatkan sekuel dan prekuel untuk Final Fantasy VII, dan mungkin itulah sebabnya Final Fantasy VII menjadi salah satu game legendaris sepanjang masa.

Safer Sephirot dikalahkan (screenshoot dari game FFVII)

Itu adalah salah satu contoh pengalaman bermain game RPG (Role Playing Game) luring (off line). Ketika kita bermain game MMORPG (Massively Multiplayer Online Role Playing Game), kita akan memiliki pengalaman yang sedikit berbeda, akan tetapi tidak kalah intensifnya. Di dalam kebanyakan game MMORPG, kita mendesain character kita sendiri, memilih job, dan membuat cerita kita sendiri. Tidak ada game over di sana. Memang ada banyak quest untuk dijalani, tetapi kehadiran kita di dunia virtual itulah yang lebih penting. Jika di dalam game luring sering kali waktu dipadatkan sedemikian rupa sehingga satu jam di dalam game bisa jadi hanya lima menit di kehidupan real kita, tidak demikian halnya dengan game daring. Satu jam di dalam Godswar adalah satu jam di kehidupan real kita. Untuk memainkan kebanyakan game daring, kita membutuhkan separuh, bahkan seluruh waktu kita! Keadaan ini mirip dengan keadaan di dalam film Avatar itu. Kita tidak sedang memerankan character fiksi semacam Cloud Strife, tetapi kita memerankan character kita sendiri, yang kita beri nama sendiri, yang kita desain sendiri, dan yang kita tentukan sendiri takdirnya. Kita bukan hanya melihat seorang aktor melakukan hasrat untuk kita, kita juga tidak hanya semata meleburkan hasrat kita dengan plot cerita character tertentu, melainkan kita justru melakukan hasrat-hasrat kita itu melalui kebertubuhan kita yang diperpanjang melalui tubuh virtual tersebut. Kita benar-benar hadir, baik di depan konsol, maupun di dalam dunia virtual tersebut. Kita hidup di dalam dunia hipereal tersebut. Kita pun bisa saja mati secara harafiah di depan konsol oleh karena terlarut di dalam dunia hipereal itu.


Character saya bernama KarlMarx, masih noob
(screenshoot dari game Godswar on-line)

Banyak kasus gamer meninggal di depan konsol saat memainkan game daring. Game yang dahsyat adalah game yang mampu membuat pemainnya penasaran, bahkan terobsesi. Hal ini bisa kita pahami karena memang ada fantasi di dalam game baik yang luring maupun daring. Fantasi ($<>a) di dalam paradigma lacanian adalah keadaan di mana subyek terbelah dengan putus asa mencari obyek yang hilang atau objet a (G. Boucher, The Charmed Circle of Ideology: A Critique of Laclau & Mouffe, Butler & Zizek, Melbourne: Re.Press, 2008, 198). Ketika diri kita dipaksa masuk ke dalam yang simbolik (Liyan besar), kita sebenarnya tengah ditetak, dikastrasi, dibelah. Diri kita ambyar berkeping-keping. Kita disapih dari keadaan “menyusu”, suatu keutuhan, persatuan primordial dengan ibu. Kita dipaksa untuk membahasakan diri kita dengan penanda Tuan yang sudah disediakan oleh Liyan (ayah). Ketika kita mencoba membahasakan diri kita dengan penanda Tuan tersebut, kita mendapati bahwa bahasa (yang simbolik) tidak mampu menampung diri kita secara paripurna. Ada bagian diri kita yang tercecer. Ada yang tidak bisa dibahasakan. Ada yang harus direpresi. Bagian yang tercecer inilah rem(a)inder, jejak-jejak hasrat yang sebenarnya mendorong si subyek memutuskan untuk melakukan sesuatu. Memang benar bahwa Wacana Tuan adalah wacana pertama dan memang harus ada. Tanpa Wacana Tuan, seorang individu tidak akan pernah menjadi subyek. Dia tidak akan pernah mampu membahasakan dirinya sebab dia tidak punya penanda-penanda yang dibutuhkan, bahkan dia tidak punya penanda “Aku”. Namun, jika si subyek itu terus-menerus melulu hanya memakai Wacana Tuan, dia hanya akan bisa berkata “ya” atau “tidak, “boleh” atau “jangan”. Si subyek itu tidak akan bisa menoleransi keadaan ambivalen. Bahkan, si subyek tersebut tidak akan pernah mampu mengetahui objet a (kerinduan terdalam)-nya.

Graph of Desire lacanian

Fantasi adalah obat penolong bagi si subyek terbelah untuk melarikan diri dari keadaan ambyar dan kagol tersebut. Zizek menjelaskan fantasi berarti bahwa jarak antara tingkat atas dan tingkat bawah dari Graph of Desire didekatkan. Zizek melanjutkan bahwa fantasi adalah sebuah konstruksi yang memampukan kita untuk mencari pengganti maternal (pengganti dari keadaan “menyusu primordial”), tetapi di saat yang sama juga merupakan sebuah layar yang mencegah kita menjadi terlalu dekat dengan maternal Thing tersebut (G. Boucher, 2008, 199). Fantasi menyediakan “kunci” bagi si subyek untuk melakukan lompatan jouissance (enjoyment). Fantasi berfungsi untuk menyelubungi fakta bahwa Liyan itu juga merupakan subyek terbelah, bahwa Liyan itu inkonsisten, bahwa Liyan (tatanan simbolik) itu terstruktur di sekitar ketidakmungkinan yang traumatis, di sekitar sesuatu yang tidak bisa disimbolisasikan (G. Boucher, 2008, 200). Dengan adanya fantasi, kita dapat berdamai dengan kenyataan bahwa Liyan (tatanan simbolik) itu pun tidak utuh, juga ambyar seperti kita.

Kita semua adalah subyek yang (w)hole, seakan-akan utuh, tetapi sebenarnya berlubang. Lubang itu ada oleh karena proses penetrasi yang simbolik kepada diri kita. Fantasi membantu kita untuk lari dari keadaan ambyar tersebut. Video game dengan sangat kaya menyediakan fantasi tersebut. Video game yang dahsyat adalah video game yang menghadirkan suatu seni-total sebagaimana yang dijelaskan Martin Suryajaya di atas. Fantasi di dalam video game itu terletak pada seni-total (plus partisipasi) tersebut. Desainer (baca: seniman) video game yang splendid (saya sengaja memakai kata ini) adalah mereka yang berhasil memprogram sebuah game yang mampu membuat pemainnya (baca: apresiator seni) terobsesi, bahkan mati secara harafiah di depan konsol. Mengapa para gamer itu rela bermain bahkan sampai mati di depan konsol? Mereka sublim. Keadaan sublim adalah keadaan ketika rasa pedih, perih, dan sakit pada tubuh tidak lagi penting. Ada kenikmatan di dalam rasa perih, ada rasa perih di dalam kenikmatan. Suatu nikmat yang perih dan perih yang nikmat. St. Sunardi di dalam paper berjudul Mencari Pokok-pokok Persoalan Estetika Seni Rupa menjelaskan prihal sublim di dalam paradigma lacanian sebagai berikut:

“Sublim dalam Lacan dikaitkan dengan apa yang oleh Lacan disebut tatanan Real. Kalau diungkapkan dalam bahasa sederhana, manusia itu hidup dalam tiga dunia: dunia simbolik (dunia sebagaimana kita jalani bersama), dunia imaginer (dunia ingatan saat saya mengenal kedirianku secara imaginer), dan dunia Real (dunia yang tidak bisa kita hadirkan). Walaupun pada kenyataannya kita itu menggunakan tanda-tanda dalam dunia simbolik, dua dunia lainnya selalu mempenetrasi dunia simbolik kita. Mengapa? Karena dalam dunia simbolik kita ada yang bolong atau mengalami lack. Maksudnya, walaupun kita memenuhi seluruh permintaan dalam dunia simbolik, kita tetap saja mengalami terasing. Walaupun seluruh hukum di dunia ini dipenuhi, belum tentu orang mengalami kepuasan hidup (jouissance). Lacan berpendapat bahwa lack itu muncul karena ada ketidaksadaran yang belum terpuaskan. Lalu bagaimana orang bisa memuaskan lack itu? Kita perlu mengidentifikasi sisa-sisa yang bisa mengingatkan (rem(a)inder) saat kita mengalami kepenuhan tanpa kurang satu apapun. Sisa-sisa pengingat inilah yang disebut objet a. Dari perspektif psikoanalis, sisa-sisa itu bisa berupa payudara, suara, dan sebagainya. Sisa-sisa pengingat itu juga bisa mengambil bentuk -bentuk budaya. [...] Sublim kantian sejajar dengan jouissance lacanian dalam arti keduanya menggabungkan antara pengalaman kenikmatan dan kepedihan sekaligus. Kalau menggunakan bahasa Freud, pengalaman akan sublim atau jouissance itu melampaui prinsip kenikmatan (beyond pleasure principle). Maksudnya, walaupun pedih orang akan melakukannya. Apa hasilnya? Proses simbolisasi baru berdasarkan pengalaman orang bertemu dengan dunia real,” (St. Sunardi, Mencari Pokok-pokok Persoalan Estetika Seni Rupa, makalah Seminar Nasional Estetik #1 - Galeri Nasional Indonesia, 2014, 7-8).

Dengan demikian, maka sudah saatnya bagi kita di era kontemporer ini untuk memperhitungkan faktor emosi pada umumnya dan kenikmatan pada khususnya (subyektivitas) untuk memahami fenomena-fenomena kebudayaan (bahkan peristiwa politik) di sekitar kita.

Pada mulanya bisa jadi kita tidak habis pikir tentang fenomena gamer yang bisa menghabiskan seluruh hidup, waktu, perhatian, dan uangnya di depan konsol. Akan tetapi, fenomena itu ada di depan mata kita, terjadi pada anak-anak, keponakan, atau kenalan kita, bahkan terjadi pada diri kita sendiri. Belum banyak yang mampu mengartikulasikan fenomena ini. Metafora-metafora dan tuntutan-tuntutan moral-agama yang disediakan oleh yang simbolik pun tidak mampu membahasakan fenomena ini dengan baik, kecuali bahwa fenomena itu buruk semata. Tanpa kita sadari, video game dengan seluruh aktivitasnya telah menjadi kebudayaan. Video game adalah suatu seni-total (plus partisipasi) yang splendid. Di dalam unsur-unsur seni (dan aksi heroik) video game tersebut, tersebar banyak sekali objet a. Di sana ada fantasi yang membuat para pemain (apresiator)-nya terobsesi. Mereka terus-menerus penasaran. Mereka sublim hingga mengesampingkan kebertubuhan (unsur biologis tubuh)-nya. Di satu sisi, video game dewasa ini berhasil menjadi suatu seni-total yang jauh lebih mudah menghadirkan estetika sublim, suatu estetika yang perlu latihan intens dan eksperimen bertahun-tahun di dalam seni keaktoran teater. Akan tetapi, di sisi lain, dengan keberhasilan estetika sublimnya ini, video game pun membuat para pemain (apresiator)-nya kedanan, gila, hingga melampaui pleasure prinsiple. Mereka menikmati kenikmatan yang pedih, dan kepedihan yang nikmat. Inilah keadaan ambivalen dari budaya game.

Daftar Pustaka
Boucher, G., 2008, The Charmed Circle of Ideology: A Critique of Laclau & Mouffe, Butler & Zizek, Melbourne: Re.Press

Padmo Adi, 2014, Kewargaan yang Tidak Main-main di dalam Realita Virtual Game, paper seminar Dilema Kewargaan Budaya, Ilmu Religi dan Budaya - Universitas Sanata Dharma

Sunardi, St., 2014, Mencari Pokok-pokok Persoalan Estetika Seni Rupa, makalah Seminar Nasional Estetik #1 - Galeri Nasional Indonesia

Internet
Martin Suryajaya, Permainan Video sebagai Gesamtkunstwerk, (http://indoprogress.com/2014/12/permainan-video-sebagai-gesamtkunstwerk/), diakses 19 Maret 2015

Comments