KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

MOBBLES, Petualangan Itu Pun Dimulai, seri 01 - Perjumpaan


MOBBLES*
01
Petualangan Itu Pun Dimulai
*Mobbles merupakan produk dari mobbles.corp (www.mobbles.com). Karya ini semata hanyalah funart belaka, tidak ada keuntungan finansial yang kami peroleh. Segala hak yang berkenaan dengan Mobbles merupakan milik mobbles.corp.

Cerita oleh Padmo Adi

seri 01 - Perjumpaan

Hari itu kira-kira pukul 19.00. Suara penonton membahana dari Stadion Maguwoharjo. Mereka tenggelam di dalam ketegangan pertarungan sengit, sebuah pertarungan final yang memperebutkan satu tiket ke Jakarta.
“Gummymu tidak akan bisa bertahan lagi, Albert. Menyerahlah. Biarkanlah aku yang menjadi wakil Jogja pada tournament nasional mobble di Jakarta.”
“Diam! Kita akan bertarung sampai selesai.”
“Sampai selesai? Tidakkah kaulihat Gummymu itu? Tidakkah kaukasihan padanya? Dua atau tiga pukulan lagi, dan dia akan KO. Menyerahlah!”
“Tidak ada kata menyerah di dalam kamusku. Gummyku sudah membaca gerakan Kumbomu.”
“O... benarkah? Mengagumkan. Baiklah. Bagaimana Gummymu akan membaca gerakan ini?! KUMBO, HABISI GUMMY!!!”
 
Kumbo's Uppercut
Kumbo berlari menerjang Gummy yang sudah babak belur. Setelah jarak cukup dekat, Kumbo melepaskan sebuah pukulan hook kanan, tepat kena ke perut Gummy. Akan tetapi, tubuh Gummy sepertinya menerima pukulan itu, tubuhnya melar ke belakang seiring dengan pukulan Kumbo. Lalu, pada batas melarnya, Gummy mengembalikan tubuhnya, seperti karet. Kumbo terkejut, hooknya tidak lagi memberi dampak yang besar bagi Gummy, tapi kini malah dirinya yang mendapatkan counter attack. Tubuh Gummy yang membal membuat Kumbo terpelanting ke belakang. Namun, Kumbo bisa mendarat dan kembali memasang kuda-kuda.

“Mengagumkan. Semangat juang yang patut dipuji. Gummymu yang elastis itu ternyata keras kepala juga ya, Albert?”
“Itu belum seberapa, Febri! GUMMY, SEKARANG!”

Gummy mengeluarkan barbelnya. Berlari dengan tenaga terakhirnya menuju ke arah Kumbo. Dia hendak menghajar Kumbo dengan barbel itu. Sebuah jurus pamungkas! Kumbo segera bereaksi. Kumbo juga berlari ke arah Gummy. Blarrrrr... . Penonton senyap seketika, terpana.

Barbel Gummy menggelinding ke luar lapangan. Kumbo masih terengah-engah. Tangannya masih terkepal setelah melayangkan uppercut. Tubuh Gummy terpelanting tinggi sekali, lalu menghujam tepi lapangan dengan keras. KO!

Suara bel tanda pertandingan berakhir berbunyi. Gelegar suara sorak penonton pecah membahana. Kemenangan 2-1 untuk Febri! Dan, dia berhak menjadi wakil Jogja untuk mengikuti tournament nasional mobble di Jakarta.
Albert masih terperangah. Dia menyaksikan tubuh Gummy terpelanting dengan keras, lalu menghujam pinggir lapangan. Ketika Albert sudah bisa memahami apa yang terjadi, berlari ke arah Gummy. Matanya berlinang air mata. Bukan... bukan karena dia baru saja dikalahkan oleh Febri... melainkan karena mobble kesayangannya babak belur dan dihajar sedemikian rupa. Ada rasa bersalah menyelinap benak Albert. Andai saja dia mengalah. Andai saja dia tidak memaksakan kemungkinan kecil itu. Ya, seandainya Kumbo Febri tidak berhasil menghindari pukulan barbel Gummynya, Kumbo Febri bisa saja kalah dan KO seketika, sebab pukulan barbel Gummy Albert terkenal sangat mematikan. Namun, kenyataannya, Kumbo Febri sudah bisa membaca gerakan Gummy Albert. Ketika Gummy mengayunkan barbelnya tepat ke arah pelipis Kumbo, Kumbo mengelak ke belakang, lalu segera mengambil kuda-kuda, dan dengan segera menerjang Gummy yang tengah berusaha menguasai momentum gerak barbelnya, kemudian mendaratkan pukulan uppercut yang mengakhiri pertandingan itu. “Seandainya aku tidak memaksa... tentu Gummy tidak akan mengalami cedera separah ini,” begitu pikir Albert.
Namun, apa boleh buat. Pertandingan telah terjadi. Gummy Albert KO. Albert berlutut di sebelah tubuh Gummy yang terkapar. Petugas paramedis-mobble segera datang. Mereka menyarankan agar Gummy segera dimasukkan kembali ke dalam room pada suatu alat yang bernama “apk-mobble”. Apk-mobble adalah alat berbentuk seperti HP yang berfungsi untuk menyimpan mobble-mobble yang dimiliki. Albert menuruti nasihat petugas paramedis-mobble tersebut. Setelah Gummy disedot vakum untuk masuk ke dalam room, Albert diminta untuk mengikuti petugas paramedis-mobble itu menuju ke ruang perawatan. Di sana ada dokter-mobble yang siap memberikan pertolongan pertama bagi mobble yang kalah bertanding.

***

Keesokan harinya, hari Senin. Albert terlihat duduk-duduk sendiri di sebuah warung burjo di area Mrican. Dia minum kopi, masih dihantui perasaan bersalah kepada mobble kesayangannya itu, Gummy. Dia ingat waktu itu, saat di mana dia pertama kali bertemu dengan Gummy.

Dua tahun lalu dia bukanlah seorang mobble-trainer. Dia hanyalah seorang mahasiswa biasa yang gemar berpetualang. Dia suka backpacker-an. Dia hobi naik gunung. Malam itu di Gunung Lawu, Albert dan Kris tengah beristirahat di pos 3. Mereka kelelahan setelah berjalan jauh mendaki.
“Kita dirikan tenda di sini saja, Kris?”
“Jangan. Kita beristirahat sejenak saja. Nanti saja di pos 4 kita mendirikan tenda.”
“Kalau begitu, kita makan dulu?”
“Baiklah.”
Mereka pun menggelar matras, lalu membuka tas carrier masing-masing. Kris mengeluarkan kompor portabel, memasang kaleng gasnya, lalu meletakkan panci kecil di atasnya.
“Makan berat atau ringan?”
“Ringan saja, Kris. Kita simpan makanan berat untuk nanti,” kata Albert sembari mengeluarkan dua bungkus mi instan.
“Ah, aku ingin telur rebus. Setengah matang. Lalu, kuning telurnya lumer membasahi lidahku. Mmmm... lezat.”
“Keluarkanlah telurmu. Kamu yang bawa telur, ‘kan?”
“Kentang juga?”
“Kentang untuk nanti saja. Kita makan yang cepat jadi dan cepat selesai.”
“Ah... beban tasku belum berkurang kalau demikian.”
“Kalau begitu, pakai airmu saja untuk merebus mi instan ini... .”

Mereka menyalakan kompor portabel itu. Setelah air mendidih, mereka memasukkan mi instan dan telur. Albert sepertinya lalai dengan bungkus mi dan cangkang telur tersebut.
“Albert, tolong ambilkan tas plastik itu.”
“Untuk apa?”
“Kaubuang sampah sembarangan! Kaubilang, kau itu pecinta alam?”
“Ahahahaha... maaf... aku keburu lapar.”
“Dasar! Kita harus selalu membawa pulang kembali sampah-sampah kita. Kita bukan anak-anak alay yang naik Semeru itu, lalu nyampah di Ranu Kumbolo.”
“Iya Pak Guru... .” jawab Albert meledek.
“Sialan!”
“Huahahahahaha... .”

Aroma sedap mi instan itu sepertinya membuat Albert dan Kris kedatangan tamu. Terdengar suara di balik rerumputan.
“Albert, ssssst... dengar... suara apa itu?” kata Kris hampir berbisik.
Albert terpaksa menghentikan kunyahannya, sementara mi masih belum sepenuhnya memasuki mulutnya. Masih ada beberapa sentimeter mi menggantung di mulutnya. Sementara itu, Kris segera meraih senternya, menyinari ke arah datangnya suara. Melihat apa yang ada di hadapan mereka, Kris dan Albert sempat dibuat ketakutan. Dua pasang mata memantulkan warna kuning!
“Bert... kuning!”
“Bukan merah?”
“Merah itu manusia. Hijau itu anjing. Ini kuning!”
“Sepasang harimau?”
“Entahlah... .”
“Kita mati di sini?”
“Mengapa ada harimau di jalur pendakian?”

Tanya mereka dipecahkan oleh suara kekeh dari salah satu dari dua pasang mata itu. Suara kekeh yang aneh. Akan tetapi, setidaknya suara kekeh itu membuat mereka sedikit lega, bahwa itu bukan harimau. Tapi, suara kekeh makhluk apa itu? Hantukah?
Perlahan-lahan dua pasang mata itu mendekat. Albert dan Kris masih terpaku. Albert sudah berhasil memasukkan semua mi ke dalam mulutnya. Nampak di hadapan mereka dua ekor makhluk.
“Mobble!”
“Apa, Kris?”
“Itu mobble... .”
“Kamu tahu?”
“Aku baca di internet.”
“Mereka berbahaya?”
“Gummy dan Krinker... .”
“Gummy dan apa?”
“Krinker.”
 
Gummy's Dumbells Hamer
Dua makhluk, yang oleh Kris disebut Gummy dan Krinker, itu mendekat ke arah panci. Mereka kemudian makan mi yang masih ada di dalam panci tersebut. Albert masih diam, terpana. Sementara Kris panik... jatah minya dimakan dua ekor mobble itu.
“Hiyaaaa... . Miku! Sialan!!!” kata Kris hendak menghardik dua ekor mobble itu.
“Tunggu Kris... .” kata Albert mencegah Kris, “Kita saksikan apa yang akan terjadi.”
“Yang akan terjadi adalah... aku kelaparan!”
“Aku masih bawa mi instan lagi.”
Kalimat Albert membuat Kris tenang. Setelah selesai melahap mi instan di panci, dua mobble itu terkekeh. Gummy kemudian menyelinapkan badan di antara tas carrier Albert dan Kris, sepertinya untuk mencari kehangatan. Sementara makhluk yang Kris sebut Krinker itu mendekati Kris dan menatapnya. Kris mengulurkan tangan. Krinker mengendus-endus tangan Kris... kemudian menyentuh tangan Kris dengan tangannya.
Kris tersenyum, lalu menggelitik perut Krinker. Krinker terkekeh, lalu mendekat ke arah Kris dan terlentang, seakan-akan ingin agar Kris terus menggelitik perutnya.
“Sepertinya dia menyukaimu, Kris... .”
“Iya... sepertinya.”
“Akan kita apakan mereka?”
“Kita pelihara?”
“Gila! Bagaimana kita membawa mereka turun dan melewati pos registrasi?”
“Kita turun lewat Candi Cetha!”

bersambung...

Comments