KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

PETUALANGAN SANG PEMBURU MONSTER MENEMBUS BATAS REALITA DAN VIRTUAL


PETUALANGAN SANG PEMBURU MONSTER MENEMBUS BATAS REALITA DAN VIRTUAL
Telaah Psikoanalisa Lacanian terhadap Pengalaman Bermain Game Android, Mobbles



untuk SOLOMOB dan MOBBLES INDONESIA
senang bertualang bersama kalian




Kajian tentang game ini berangkat dari perjumpaan saya dengan seorang teman gamer. Dia bercerita tentang game yang memaksa pemainnya pergi ke luar rumah, menelusuri lingkungannya untuk berburu monster di lingkungan nyata sehari-hari itu. Hal itu merupakan sesuatu yang baru bagi saya sendiri, yang juga merupakan seorang gamer. Saya penasaran dengan game dengan genre Augmented-Reality semacam itu. Pengalaman macam apa yang akan dialami oleh para pemainnya? 

Saya memberanikan diri untuk mengadakan penelitian ini sebab saya melihat bahwa di Indonesia masih sedikit orang mengkaji game dengan serius. Maka, kajian ini saya harap dapat memperkaya pembicaraan kita mengenai game khususnya di Indonesia ini. Saya menggunakan paradigma psikoanalisa Lacan. Teori psikoanalisa Lacan saya pakai sebab saya penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan para pemain game Augmented-Reality­, khususnya Mobbles. Para pemain itu sebenarnya tengah diseret ke mana; Yang Real, Yang Simbolik, atau Yang Imaginer? Di sisi lain, saya juga penasaran, dengan kehadiran smartphone yang semakin canggih, dan kemudian kehadiran Augmented-Reality—di mana kehidupan nyata sehari-hari dibajak dan dicangkoki kenyataan yang virtual—realitas dunia kita ini sebenarnya tengah dibentuk ulang menjadi bagaimana? Apakah sebenarnya Mobbles, dan game Augmented-Reality lainnya itu, tengah menghadirkan ingatan akan Yang Imajiner, atau mereproduksi Yang Simbolik, atau sebenarnya tengah menghadirkan Yang Real?

Hampir semua teman yang saya kenal di OMK dan MaSastrO memainkan game Mobbles ini. Bahkan, salah seorang teman mendirikan komunitas pemain Mobbles Solo, SOLOMOB. Saya hadir di tengah-tengah mereka, menyaksikan bagaimana mereka berburu, merawat, trading, dan battle. Bahkan, saya dengan sengaja memasukinya, memainkan game Mobbles itu sendiri. Bersama-sama kami memasuki sebuah dunia di mana yang virtual dan yang real melebur jadi satu. 

Di dalam situasi semacam itu, permainan video game menjadi sesuatu yang jauh lebih serius. Orang bisa berkelahi sungguh-sungguh hanya gara-gara memperebutkan monster atau portal yang ada di suatu tempat di lingkungan nyata, tetapi yang juga sekaligus tidak ada di sana. Di sisi lain, dunia nyata yang telah dibajak oleh yang virtual ini juga kemudian membuat pekerjaan mencari upah sehari-hari mengalami apa yang disebut gamification, dibuat seolah-olah semenyenangkan bermain game. Kehadiran gadget yang semakin canggih membuat seorang subjek dapat keluar-masuk antara yang nyata dengan yang maya berkali-kali dalam sehari tanpa perlu harus meluangkan waktu khusus atau berada di tempat khusus untuk login.

Tidak mudah bagi kita untuk memahami realitas semacam ini. Teknologi berkembang begitu pesat, hingga memodifikasi kenyataan sedemikian rupa. Tesis ini memberi kesempatan kepada para pemain Mobbles, salah satu game Augmented-Reality, membahasakan diri sehingga apa yang mereka alami dapat lebih kita pahami. 

Mobbles, The Mobile Creatures
***

Tesis ini saya tulis pada awalnya karena saya ingin mengartikulasikan pengalaman bermain game Augmented-Reality, sebuah genre baru. Teman saya pertama kali memperkenalkan genre ini kepada saya pada tahun 2014. Jauh sebelum Pokémon Go dan Ingress diluncurkan, Mobbles telah lebih dulu diluncurkan. Pada tahun 2012 awal mobbles.corp, sebuah perusahaan yang bisa dibilang home-industry, meluncurkan suatu permainan berburu dan merawat monster di dunia nyata sehari-hari. Akan tetapi, kemudian tesis ini berkembang menjadi kisah petualangan saya dan beberapa orang teman, memainkan game ini, memburu monster, bahkan hingga ke perbukitan Menoreh. 

Tesis ini berkisah tentang sebuah dunia di mana tidak ada lagi dikotomi antara dunia real sehari-hari dengan dunia virtual. Memang masih ada dan banyak dunia virtual baru diciptakan oleh perusahaan-perusahaan game, dan dunia virtual itu semakin real, semakin membutuhkan waktu real kita sehari-hari, semakin menyita kehadiran kita; dan kita tetap harus login dengan konsol tertentu, waktu, dan tempat tertentu, untuk dapat mengaksesnya. Akan tetapi, kini dunia real kita telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan yang virtual, sehingga yang virtual ada di sana, di dunia real sehari-hari kita, dan bahkan membuat dunia real sehari-hari itu menjadi semakin menggairahkan dan menyenangkan untuk dihidupi. Di dalam dunia real yang telah dimodifikasi oleh yang virtual itu, tidak ada lagi dikotomi antara yang virtual dengan yang real, sebab yang virtual telah dileburkan menjadi satu dengan yang real sedemikian rupa, sehingga yang real tidak lagi bisa berjalan dengan baik tanpa kehadiran yang virtual. Situasi seperti itu secara “sederhana” dihadirkan oleh game-game Augmented-Reality, dan secara “kompleks” dihadirkan oleh aplikasi-aplikasi yang kita pakai untuk mencari nafkah, untuk berjual beli, atau singkatnya, untuk hidup.

Jujur saya akui, kelemahan dari tesis ini adalah durasi pengerjaannya. Saya memulai tesis ini pada 2014, dan baru bisa mengakhirinya pada akhir tahun 2017, untuk kemudian merevisinya pada awal tahun 2018. Yang saya lakukan selama tiga tahun itu adalah benar-benar terjun memasuki dunia Virtual-Reality dengan memainkan banyak game MMORPG, game-game PS1 seperti Final Fantasy VII yang legendaris hingga Ace Combat 3, game-game PC mulai dari Counter-Strike, Grand Theft Auto, hingga Plans vs Zombie, dan game-game sederhana pada smartphone. Kemudian, saya memainkan betul game Augmented-Realty Mobbles, yang saya teliti itu. Saya masuk ke dalam komunitas-komunitasnya. Saya mengenal para pemain-pemainnya. Saya memainkannya hingga memiliki gelar Master. Selain itu, saya juga mencoba membandingkan game Mobbles dengan game Augmented-Reality lainnya, yang muncul kemudian, seperti Ingress dan Pokémon Go. Dari memainkan game Virtual-Reality dan Augmented-Reality secara bersamaan itu, saya menemukan bahwa kedua genre game itu memiliki sensasi yang berbeda atas kenyataan. Game Augmented-Reality membuat para pemainnya masih dapat menapakkan kakinya pada realita sehari-hari.

Dari petualangan saya login dan logout berbagai macam game sembari tetap menjadi pemburu Mobbles itulah tesis ini dapat lahir. Saya harus berterima kasih kepada Arya Gautama Soe alias Ary Nggosoe, Ardyan Ndaru, dan Satria Ndaru, beserta semua anggota pemain Mobbles yang tergabung di dalam grup whatsapp SOLOMOB dan grup facebook Mobbles Indonesia. Terima kasih juga terutama kepada Albertus Eko Nugroho W.P., Luis Edo Kris Kelana, dan Claudius Hans Christian Salvatore karena telah menemani petualangan-petualangan saya berburu monster. Terima kasih kepada teman-teman Jangkrik!, Hans, Mas Noel, Anne Shakka, Vina Rete, Adit Mbek, Romo Koko, atas perjuangan bersama menyelesaikan tesis masing-masing, dan atas saling puk-puk yang diberikan. Terima kasih kepada Cahyo Susmanto, atas tumpangan beberapa malam di Manisrenggo, untuk ngadhem nulis tesis. Terima kasih kepada Mas Sigit fotokopi atas jasa-jasanya. Kepada Mbak Katrin, viele Dank... ich kann nicht sprachen... aber “Danke”. Kepada Pak Nardi, terima kasih atas tantangan dan dukungannya, dan maaf jika belum bisa “secanggih” yang Bapak harapkan. Terima kasih pula kepada Ika, dan maaf, aku harus merelakan pekerjaan itu demi menyelesaikan tesis ini. Dan, kepada Njaya, terima kasih sudah menemaniku lek-lek’an.

Akhir kata, selamat membaca. Silakan baca/unduh di sini.


Surakarta Utara, 18 Januari 2018
Padmo Adi





Comments